Rabu, 21 Desember 2016

Tenggelam dalam Realitas



Saat itu sang surya sudah berayun, seharusnya kalau bisa dilihat sinarnya akan tampak elok berwarna oranye. Namun sayang sekali, awan gelap sudah mendominasi langit. Kalau boleh dibilang waktu itu sore hari. Yang biasanya dinikmati oleh beberapa kalangan penikmat kenangan. Sambil membayangkan memori-memori masa silam.
Beberapa muda-mudi sedang berkumpul di sebuah gubuk kecil. Salah satunya adalah seorang perempuan berkacamata hampir minus lima. Kaca tersebut tidak lama ini ia dapatkan dari Boponya.  Tidak salah jika teman- temannya memanggil ia si pecandu buku. Meski sama-sama pegiat literasi namun hanya dirinya yang paling sering terlihat bertatap muka dengan buku. Hingga terbitan luar negeri juga sering ia baca. Terakhir dibacanya adalah karya “A Hunger Artist” milik Kafka yang ia dapatkan beberapa hari yang lalu, yang mana tepat satu tahun setelah edisi bahasa Inggrisnya diterbitkan[1]. Salah satu sarana mempraktikan bahasa Inggrisnya yang ia dapat dari sekolah  AMS (Algemeene Middlebare School) yang kemudian diubah menjadi Sekolah Menengah Tinggi ketika Nipon menguasai tahun 1942. Boponya adalah seorang bupati di pesisir utara Jawa Timur. Kebutuhan yang sulit didapatkan pribumi mudah sekali ia punyai. Tak hanya buku-buku sastra, gincu dan peralatan pemoles wajah hanya ia yang punya.
Dirinya lebih suka dipanggil Surti’ah, meski ia punya nama Belanda yang sering digunakan jika ia dalam acara pesta makan malam bersama Bopo dan teman-teman Belandanya.
Gubuk kecil itu sering kali membunyikan suara rapuhnya jika ada beberapa orang yang bergerak di atasnya. Buruh tani desa tersebut membuatnya sepuluh tahun silam untuk tempat beristirahat melepas penat, namun akhir-akhir ini tiada petani singgah di situ. Semua buruh sudah dialihkan membangun waduk yang akhir-akhir ini diketahui akan menjadi pemasok air berpajak tinggi untuk beberapa desa dan perencanaan listrik demi kebutuhan pemerintahan Hindia Belanda. Perihal darimana ia dapatkan informasi tersebut, ia sering mendengar percakapan Boponya dengan teman Belanda yang lain.
“Ti’ah, apakah kamu tidak kena marah Bupati?”
“Kenapa?”
“Iya, perihal bersama kami?”
“Bukan apa-apa, hanya kalian yang bisa menerimaku, banyak sekali yang memilih menekuk lutut. Sehingga bukan teman yang aku dapatkan. Hanya sekat-sekat.”
“Apakah tidak cukup, Ti’ orang-orang ayahmu di ndalem?”
“Hanya orang bayaran, tidak ada ketulusan menemaniku. Aku lebih suka bersama kalian, berdiskusi, membahas buku-buku ini.”
Rusman, salah satu anak dari buruh tani suruhan Bupati. Seumuran dengan Surti’ah, hanya lebih tua satu bulan. Dirinya akan beranjak kepala dua November nanti. Seringkali Rusman, menanyakan keanehan anak Bupati yang sering meluangkan waktunya duduk bersama anak-anak pribumi.
Surti’ah menelan ludah. Hanya saja, ludahnya seperti menolak untuk masuk melewati kerongkongannya yang kering. Rusman adalah sosok sebenarnya yang menjadikan gadis peranakan Bupati ini mau bersenda gurau di antara petak-petak lahan sawah, di atas gubuk reot.
Agaknya pemuda berperawakan kurus berhidung runcing ini membuat Surti’ah melawan adat ndalemnya. Diawali ketika Sono, Bapak Rusman, ingin bergabung menjadi buruh pembangunan waduk karena lahan sawah yang telah digarapnya satu dasawarsa ini tiba-tiba terkena wabah aneh. Semua palawija yang ditanam mendadak berubah warna menjadi hitam kehijau-hijauan.
Ditemani dengan Rusman, Sono memberanikan diri pergi ke rumah Bupati. Surti’ah tidak sengaja melihat sosok Rusman yang sesekali menggunakan bahasa Belanda saat membantu ayahnya bernegosiasi dengan Bupati agar ayahnya bisa ikut berkerja di waduk tersebut. Sontak, Surti’ah terkagum-kagum karena kala itu sangat jarang sekali ia melihat seorang pribumi seberani anak petani tersebut. Menggunakan Belanda pula. Yang akhir-akhir ini ia baru tahu jika Rusman belajar dari buku pelajaran bahasa yang ia curi dari sekolah Belanda. Juga sering ia mengintip proses belajar mengajar di sana tanpa diketahui siapapun. Hingga kini ia memberanikan diri mengajak beberapa anak pribumi yang lain mengikuti jejaknya. Hak mendapat pendidikan yang tidak diberikan secara bebas ini membuat dirinya melakukan hal seperti itu.
Surti’ah yang notabene hanya seorang perempuan peranakan Belanda yang berkutat dengan buku di kamar, di ruang tengah, maupun di taman ndalem hingga membuat beribu alasan agar dirinya diperbolehkan keluar dari dinding keteraturan keluarga ndalem. Semua itu adalah cerita dua bulan lalu, hingga ia bisa kenal dengan Rusman seperti sekarang ini dan bisa membuat gerakan memperjuangkan pengetahuan lewat buku-buku. Khususnya kepada pribumi yang banyak sekali brelum menyentuh bangku sekolahan.
Belanda Rusman yang cukup fasih bisalah menjadi alasan Bupati hingga Sono diterima menjadi buruh waduk. Namun sebenarnya wabah aneh sawah yang digarap Sono nyatanya adalah makar Boponya Surti’ah. Surti’ah tahu itu saat ia ketahuan masih berkecimpung di dunia literasi desa bersama Rusman. Padahal sudah berkali-kali anak Bupati tidak boleh bersama dengan pribumi. Hingga Surti’ah mendengar penjelasan beberapa tindakan tak berkeperikemanusiaan yang pernah dilakukan Boponya terhadap masyarakat desa. Tak lain untuk menyukseskan niatnya membangun waduk namun masih kekurangan pekerja. Yang setelah dipikirkan olehnya, harus meratakan sawah agar para petani pindah bekerja ke waduk dengan upah yang nyatanya tak sebanding dengan pekerjaan.
“Matahari sudah hampir tenggelam!”
“Iya, Rus. Mungkinkah aku harus kembali sekarang? Buku ini belum selesai.”
Beberapa buku memang diganti sampulnya oleh mereka. Supaya bisa menyembunyikan identitas asli buku curian tersebut.
“Tegakah kau jika aku besok pagi buta dijemput paksa oleh suruhan Bupati jika aku ketahuan bersamamu? Pulanglah!”
“Maaf masih banyak buku yang tersisa untuk dikerjakan. Akankah kamu tidak tidur lagi malam ini?”
“Barang tentu sudah menjadi sesuatu yang wajar orang bawah bersusah payah. Waktu tidur kiranya tidak sampai sepertiga malam.”
Rusman menceritakan jika ia tigaharian ini tidak sempat terlelap. Ibunya membangunkan ketika matanya baru setengah menit terpejam. Tidak menolak ataupun pasrah mengiyakan. Pekerjaan kesehariannya memang membantu Ibunya mencari kerang. Ia lakoni dengan pergi ke pantai yang kira-kira ia bisa tempuh saat Duhur tiba dengan berjalan kaki. Itu pun jika ia berangkat setelah bapaknya Sono turun dari mimbar satu-satunya Masjid di desanya, tepat selepas berkhutbah Subuh.
Setelah percakapan tersebut. Lima muda-mudi di gubuk reot itu kembali ke rumah masing-masing. Lima tersebut, selain Surti’ah dan Rusman, adalah 2 pemuda dan satu gadis yang sama-sama pribumi.
***
Ingatan gadis peranakan Belanda ini tetap sama, tak bisa lepas setiap malamnya dari anak petani Sono. Agaknya sama dengan keadaan sono yang masih tetap sama, beberapa teman kerja Sono sudah menjadi mandor pembangunan waduk yang sudah berjalan sembilan bulan terhitung dari ia masuk. Namun tetap saja Sono menjadi buruh kasar waduk. Sono orang yang taat beragama, dia akan berhenti bekerja ketika waktu sholat tiba. Tampaknya hal itu tidak disukai rekan kerjanya. Rekan kerjanya sering menggunjing, melaporkan kepada pengawas tentang hal yang tidak-tidak saat Sono berhenti berkerja untuk sholat. Mereka iri dengan Sono yang kerjanya bagus sampai berbagai akal busuk dilakukan supaya Sono tidak bisa naik menjadi mandor. Syukur-syukur bisa dikeluarkan, harap mereka.
Sono tidak berhasil dikeluarkan, namun ia tidak naik jabatan. Ia tetap mengangkati batu-batu dari bawah ke tanggul bagian atas. Hal itu masih tetap ia lakukan mulai dulu ketika pembangunan sisi tanggul bagian timur hingga kini sudah sampai barat. Nasib keluarganya malah semakin tidak menentu. Terkadang makan satu kali terkadang hanya minum air. Beda ketika masih menjadi petani. Mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehari makan minimal dua kali. Meski bukan lahannya. Tuan tanahnya adalah Belanda yang baik. Beda dengan Bupati.
Hingga dalam suatu siang gadis peranakan Belanda, Surti’ah, mempunyai kesempatan untuk ikut Rusman pergi ke bibir pantai mencari kerang. Terpikirkan untuk memberanikan diri mengatakan sebuah perasaan yang menggebu-gebu yang pemudi seumurannya bisa rasakan, yaitu sekelumit sebab yang sering membuat kering kerongkongannya ketika bertuturkata. Tidak hanya mereka di sana, di sekitarnya berlarian tiga anak kecil berebut satu kelapa muda. Di bawah pohon kelapa yang tinggal satu buahnya mereka duduk berdua.
Rusman memulai percakapan,
“Ti’, mungkin kesempatan kita bertemu dalam perjuangan gerakan literasi desa akan berkurang.”
“Kenapa? Kamu mau pindah desa? Hanya kamu yang bisa menggerakan anak-anak di sini supaya semangat, bukan hanya anak-anak sebenarnya begitu juga …a...” Seperti tersedak, gadis berkulit putih, bergigi gingsul ini berpura-pura batuk tidak meneruskan kata-katanya.
Lalu dia meneruskan,
“Iya, kenapa?” Percakapan keduannya semakin mendalam.
“Setelah wabah menyerang sawah yang digarap Bapakku, kini kebutuhan keluargaku  semakin tidak terpenuhi. Aku laki-laki, Ti’. Di umur 20 tahunku ini sudah waktuku bertanggung jawab menjadi tulang punggung keluargaku. Dua adik perempuanku. Ibuku. Ayahku yang semakin tua dengan penghasilan yang…”
Surti’ah menyelak,
“Apa niatanmu, Rus? Akankah kau meninggalkan desa ini? Desa yang membesarkanmu?”
“Aku hanya ingin berlayar, Ti’, merantau ke seberang sana. Mungkin saja ada tuan tanah yang berbaik hati menerimaku, hanya itu, Ti’, yang bisa diharapkan oleh darah pribumi. Meringankan beban keluarga. Pulang menjadi orang yang punya. Mengangkat derajat masyarakat pribumi itu juga tujuannya.”
“Seperti itu keinginanmu? Kamu tidak memikirkan nasib anggota gerakan kita.”
Surti’ah mencoba mencari alasan lain supaya Rusman mengurungkan niatnya merantau.
Rusman hanya menatap gelombang ombak yang semakin mendekati pohon kelapa yang mereka gunakan berteduh.
Tiba-tiba Surti’ah sedikit ragu-ragu berkata,
“Ini memang salah keluargaku, aku hanya tidak berani tegas dengan keparat Bopoku!”
“Maksutmu?”
“Iya, terkait dengan wabah itu! Bopo hanya ingin nafsunya terpenuhi, waduknya cepat selesai, dia lakukan segala cara, salah satunya……” Mulai ragu meneruskan.
“Apa, Ti’? Mempertegas.
“Me…Me….ngirim wabah kesawah-sawah supaya petani beralih pekerjaan.”
Ombak yang tadi mulai mendekati kaki Rusman kini seakan menjauh dan semakin jauh. Ombak itu enggan lagi mendekat. Tiga anak kecil yang berebut kelapa muda tadi sudah pergi entah kemana. Menghilang.
Rusman berdiri secara tiba-tiba dan berkata, “Memang, betul kata Bapak. Pribumi hanya menjadi alat. Dengan mudah dipermainkan. Meski, kamu di antara kami, darahmu tetaplah sama darah mereka!”
“Tetapi…”
“Aku… menyukaimu, Rusman!”
“Rus, kau salah satu pribumi yang berbeda, cara memimpinmu, caramu memperlakukan sesamamu. Caramu memperlakukanku.”
“Sudahlah, apa yang kamu katakan tak mengubah keadaan keluargaku. Aku pribumi dan kau...” Selak Rusman.
Rusman berjalan menjauh dari pesisir pantai, menuju pemukimannya. Peranakan Belanda kaku tak bergerak sedikitpun.

Surabaya, 2 Desember 2016

Mohammad Iqbal
Pegiat literasi di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas
Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya
Prodi Sastra Inggris





[1] Karya Franz Kafka “A Hunger Artis” diterbitkan berbahasa Inggris pada tahun 1938

Minggu, 23 Oktober 2016

Tanggung Jawab Moral dalam Pesantren

Pendidikan dalam pesantren mempunyai tradisi yang berbeda dengan pendidikan formal. Dari sisi moralitas, seorang yang nyantri di pesantren akan ditekan secara penuh. Contoh kecil saja, ketika di kota-kota besar seperti yang saya tinggali yaitu Surabaya, akan jarang ditemui praktik yang mencerminkan perilaku hormat kepada seorang yang telah memberikan ilmu. Tetapi hal itu saya temui di pesantren saya di Surabaya. Bahkan santri sungkan-sungkan untuk lewat di depan ustadz atau kyainya. Hingga merapikan alas kaki ustadz atau kyai pun dilakukan oleh santri.
Boleh dikatakan akan ada perbedaan 180 derajat jika kita membandingkan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal. Tanggung jawab moral belum ada dalam institusi pendidikan ini. Pendidikan formal lebih menekankan pengetahuan umum saja. Akan masih berbeda meskipun dalam pendidikan formal sudah dimasukan juga unsur keagamaan karena dalam kesehariaannya tidak langsung dipraktikan.

Meskipun dewasa ini masih ada pesantren yang hanya berfokus dalam pendidikan yang berkaitan dengan agama saja tanpa memperkenalkan ilmu umum kepada santrinya, namun sudah ada juga pesantren yang membangun iklim literasi dalam lingkungannya. Tradisi pesantren harus dijaga tetapi pesantren juga harus lebih terbuka. Pesantren mempunyai tanggung jawab “proteksi dan proyeksi”. Mempertahankan karakter kesantrian dan menerima hal-hal baru untuk kemajuan. Maka dari itu Hari Santri Nasional sebagai simbolis atas jasa pesantren dalam pembangunan moral bangsa.

Minggu, 18 September 2016

Pers Mahasiswa adalah Racun

Adalah ucapan dari salah satu teman yang bertempat tinggal satu atap di tanah perantauanku. Bukan masalah yang pelik jika ucapan tersebut diterima oleh orang yang lebih sering bersinggungan dengan media. Yaitu para pemangku kepentingan. Para eksekutif-eksekutif. yang berangkatnya lebih dulu dari pada yang ekonomi (mereka bilang KRD, perantauan Bojonegoro – Surabaya pasti tahu!). Yang memiliki wewenang mengeluarkan aturan dan menarik aturan itu sendiri.
“Loh, Mas! Kalau yang diracun itu hama gimana? Tikus misalnya.” Jawabanku yang tak terungkapkan secara verbal. Mas ku yang satu ini adalah salah seorang eksekutif kampus. Bisa dibilang pandai berorganisasi. Pasalnya, kelihaian dia bercakap-cakap, menjelaskan pola-pola organisasi, di depan dedek-dedek gemez sudah tak diragukan lagi. Keren bukan?
Jawaban verbalku kepadanya hanyalah sebuah kata yang artinya semacam “tai”. Itu saja. Tentunya dengan bahasa Jawa dan logat daerah kelahiranku yang khas.
Haha, tentunya jangan dipraktikan kepada eksekutif-eksekutif lain. Beda, Mas ku yang satu ini sudah biasa menerima pisuhan yang bertubi-tubi. Meski terkadang pisuhan itu juga ditepis dan menuju ke arahku.
Mungkin anak-anak Persma, singkatan dari Pers Mahasiswa, akan memberi pertanyaan kembali jika ada ujaran seperti judul di atas. Lanjut, akan menjelaskan tujuan serta fungsi Persma beserta Kode Etik Jurnalistik jika memang tahu dan mungkin masih sempat menyimpan buku saku jurnalis di kantong tasnya. Untung-untungan saja tidak terjadi debat kusir. Meski dokar sudah jarang ditemui, banyak kusir yang masih berkeliaran.
Kalau menurut ku, hal itu lumayan “tai”. Karena sudah tidak waktunya menjelaskan. Buktinya dalam sebuah agenda, banyak kerabat-kerabat Persma se-lembagaku secara prosedural diminta bukti, mengenai dari lembaga pers dan punya tugas jurnalistik, oleh para pemangku kepentingan ketika akan meliput. Malahan mereka meminta lagi surat tugas. Sangat... iya sangat berhati-hati.
Mungkin ada sebuah kejutan. Apalagi jika ada kata-kata bisikan “Mas beritanya yang baik-baik ya!” kata-kata yang pernah diterima oleh pucuk tertinggi lembaga persku yang diutarakan seseorang. Sudah tidak waktunya lagi bukan menjelaskan tentang kejurnalistikan? Meski hak jawab dan hak koreksi ada, mereka mungkin saja lupa. Lebih enak memilih bisikan di atas.
Melegitimasi perkataan “Persma adalah Racun” dengan pengetahuan tentang berita-berita media mainstream yang judulnya semacam “Jokowi Punya Nama Lain, Ini Tanggapan Netizen” itu adalah tindakan gegabah. Bahkan hingga pertanyaan dari teman-teman seperti “Kalian berpihak kepada siapa sih?” yang sering dilontarkan, tidak kami jawab dengan panjang lebar. Kami hanya berkata “Ikutilah media kami!”
Selain sebuah prinsip yang kami pegang dengan tanpa mengatakan idealisme, Persma adalah sebuah Pergerakan Alternatif yang memungkinkan fungsi penyeimbang terus diemban tanpa perlu mengorbankan kaum intelektual muda dalam proses pencapaian tujuan-nya karena harus secara fisik berhadapan dengan Polisi Huru Hara (PHH). Meski kenyataannya terkadang bukan PHH yang dihadapi. Tetapi teman sendiri. Mungkin harus buat kaos hitam bersablon tulisan “Kami hanya Pencari Data, bukan Pembawa Petaka.”
Bila mulutmu dibungkam, bicaralah dengan pena

_
Ditulis di Warung Tepi Kota.
17/9/2016 4.00 AM

Minggu, 14 Agustus 2016

Feodalisme di Tanah Jawa dalam Sastra


Identitas Buku
Judul: Gadis Pantai
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: September 2011
Kategori: Roman
Jumlah halaman: 272 Hlm.
ISBN: 979-97312-8-5

Peresensi: Mohammad Iqbal*)

Di pesisir pantai Rembang, di akhir abad ke-19,  ada kampung yang masyarakatnya hampir semuanya berkerja sebagai nelayan. Kampung tersebut disebut Kampung Nelayan. Di kampung itu ada seorang gadis berumur 14 tahun, anak pasangan suami istri yang hidup miskin, menjadi tokoh utama dalam novel ini. Gadis Pantai sebutannya.
Gadis Pantai dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang priyayi di kota. Orang  tuanya berharap kehidupannya agar lebih baik setelah itu. Di rumah seorang Bendoro, suami Gadis Pantai, ia tinggal. Keadaan yang sangat berbeda dengan kampungnya yang dulu. Tanpa hangatnya pasir pantai. Tanpa terik matahari pagi. Tanpa pekerjaan yang biasa ia lakukan, membantu orang tuanya menjala. Karena sekarang ia menjadi seorang yang lebih dihormati, seorang wanita utama, bukan sebagai orang kebanyakan. Wanita utama mendapat panggilan Mas Nganten oleh penghuni rumah Bendoro.
Ditemani seorang yang mengajarkan pengalaman kehidupan, dia tinggal di rumah Bendoro. Gadis Pantai menjadi tahu tentang apa itu kehidupan yang sebenarnya. Nenek tua itu menemani, menceritakan pengalaman hidupnya. Waktu semakin bergulir, Gadis Pantai akhirnya menyadari bahwa dia bukan wanita utama untuk Bendoro. Posisinya semacam perempuan yang dinikahkan hanya untuk latihan. Pada waktunya, Bendoro akan meninggalkan Gadis Pantai dan akan menikah yang dianggap sebenarnya yaitu dengan wanita yang sederajat. Dengan wanita keturunan sederajat dari golongan priyayi, bangsawan Jawa.
Selang beberapa waktu, sekitar tiga tahun, setalah ia bisa beradaptasi, Gadis Pantai dianugerahi seorang anak. Anak perempuan yang dilahirkan olehnya dan terkesan Bendoro kurang begitu senang.
Selain itu, saat ini adalah waktu dimana Bendoro harus menikah. Menikah dalam arti yang sebenarnya dengan wanita yang sederajat. Kira-kira setelah bayinya berumur tiga setengah bulan, tiba pada waktunya, akhirnya Gadis Pantai diceraikan. Dipulangkan dengan paksa. Dengan diberi beberapa materi. Tetapi tanpa Bayi.
***
Buku ini berhasil ditulis oleh Pramoedya Ananta Tour karena terinspirasi oleh kisah neneknya sendiri. Buku ini bisa dikatakan buku sejarah, sejarah yang mungkin tidak banyak orang yang tahu dan dikemas oleh Penulis secara apik. Novel ini menceritakan unsur feodalisme di tanah Jawa pada akhir abad ke-19. Sebuah kekuasaan yang dipegang oleh para priyayi ini diceritakan di pesisir Rembang. Kaum priyayi ini bertindak semena-mena, mempergunakan posisinya mempermainkan kaum kebanyakan. Yaitu kaum miskin dari kampung.
Sebuah pernikahan dini juga diungkit dalam novel ini, digambarkan oleh tokoh Gadis Pantai. Diceritakan sebagai seorang yang begitu polosnya sebagai korban pernikahan percobaan. Pembaca bisa dibuat sakit hati membayangkannya karena kisah-kisah yang sekarang bisa dikatakan mencederai hak asasi manusia.
Penulis memberikan gambaran kejadian cerita di akhir abad ke-19 memasuki abad ke-20 dengan bagus, mulai dari menyebutkan baru dibangunnya Jalan Raya Pos oleh Deandles hingga menceritakan Bupati Jepara yang akan menikah lagi karena meninggalnya ibu R.A. Kartini.
Novel ini sebenarnya trilogi dari dua novel lainnya, sangat disayangkan naskah lanjutan dari cerita ini tidak ditemukan, dikatakan hilang akibat ganasnya rezim Orde Baru. Roman Gadis Pantai ini mungkin tidak akan ditemukan jika mahasiswa Australia—Savitri P. Scherer—tidak membuat tesis tentang kepengarangan Pram dan akhirnya mengirimkan dokumentasinya.  Sangat disayangkan Pram tidak mencoba menuliskan kembali kisah lanjutannya.
__

Selasa, 26 Juli 2016

Kilas Balik MTs. Islamiyah Banat Sunnatunnur Senori Tuban

Dokumen MTs. Banin tahun 2007 (Kegiatan belajar mengajar satu gedung, Banin Siang, Banat sore)
Tulisan ini dibuat diakhir semester tiga ku kemarin, sekitar bulan Desember 2015. Ceritanya nih aku lagi pulang kampung, tapi belum pulang yang sebenarnya, hehe soalnya aku harus balik lagi ke tanah rantauku, Surabaya. Jadi aku waktu itu hanya pulang tiga hari saja. Aku lupa, ada urusan apa balik ke Surabaya. Kalau tidak salah sih masih ada persiapan agenda Sosialisasi Kampus. Waktu itu kebetulan saya Ketua Panitianya. Eh weladalah. Melebar ceritanya. :D

Saat itu nenek nyamperin dan bilang kalau Yayasan Sunnatunnur lagi melakukan rekap data. Nenekku salah satu orang yang bisa dikatakan sepuh (Jawa: tua) di sana dan secara langsung juga ikut membantu merintis MTs. Islamiyah Banat di Yayasan itu. So, beliau bertanggung jawab untuk menceritakan. Bagaimana sih asal muasal berdirinya sekolah tersebut. 

Check this out_______


Sejarah Dirintisnya MTs. Islamiyah Banat

Pada awal dekade 1960-an salah seorang putri dari pasangan KH. Masyhuri dan Hj. St. Aminah yang bernama Rufiati kembali ke tanah kelahirannya yaitu Senori Tuban setelah beberapa tahun melewati proses menuntut ilmu di Solo Jawa Tengah. Putri ke-4 dari 13 bersaudara ini merasa iba terhadapan kondisi pendidikan dikala itu. Banyak anak-anak perempuan yang menganggur dan tidak melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) karena memang saat itu belum ada sekolah lanjutan untuk perempuan seperti jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Senori, yang ada hanya Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Banin yang berarti hanya untuk laki-laki.
Perasaan iba terhadap anak-anak perempuan yang dirasakan Istri dari H. Masyhudi saat itu melatar belakangi dirintisnya jenjang lanjutan pasca sekolah MI. Awal mula sekolah itu dibuka, anak-anak masih belum mau masuk dan melanjutkan sekolah, mereka malu karena merasa sudah besar.
            Di sisi lain, Ibu Mukarromah kakak kandung Ibu Rufiati Istri K. Chudlori mempunyai ide setelah melihat banyak anak yang masih malu untuk sekolah. Ide beliau adalah ikut berangkat sekolah meski sudah mempunyai anak, bahkan beliau sambil menggendong anaknya di sekolah. Pada akhirnya, aksi beliau ini dapat menarik minat anak-anak perempuan untuk tidak malu melanjutkan sekolah.
Selang beberapa waktu kemudian setelah banyak lulusan MI yang meneruskan sekolah, Ibu Rufiati berinisiatif memberi nama sekolah lanjutan tersebut. Beliau mengajak ayahandanya KH. Masyhuri, mbah Muslimah Istri dari K. Nur Salim, K. Chudlori, dan K. Nur Syahid untuk bermusyawarah membahas nama sekaligus membentuk struktur kepemimpinan sekolah tersebut.
Ibu Rufiati mengajukan sebuah nama untuk sekolah lanjutan tersebut dalam musyawarah yang telah diadakan. Beliau mengajukan nama Mualimat yang mana diambil dari nama sekolah yang pernah ditempuhnya sekitar 4 tahun di Solo dan akhirnya nama Mualimat ini diterima oleh semua anggota musyawaroh. Kurikulum Mualimat pun sama dengan kurikulum sekolah yang pernah ditempuh Ibu Rufiati saat di Solo. Selain itu, dalam musyawarah ini diputuskan juga struktur kepemimpinan Mualimat. Struktur kepemimpinannya adalah Penasehat : KH. Masyhuri, Kepala Sekolah : K. Chudlori, Sekretaris : Mukarromah, dan Bendahara : Muslimah. Adapun dewan gurunya adalah KH. Masyhuri mengajar mata pelajaran (mapel) Fiqih, Hadis, tafsir dan tauhid; K. Chudlori mengajar mapel Nahwu, Shorof; dan Ta’lim; K. Nur Syahid Mengajar Qowaidul Lughoh; Badrus Salam mengajar mapel Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia; dan Ibu Rufiati sendiri mengajar mapel Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi, Didaktik dan Metodik. Selain itu, lulusan Mualimat diakui untuk mengajar jenjang Madrasah Ibtidaiyah di lingkup Madrasah Islamiyah Senori.
Problem pada saat itu adalah belum ada satupun gedung untuk kelas dan sepeserpun dana yang dipunyai Mualimat. Bahkan guru yang mengajar di sana tidak mendapat bisyaroh. Akhirnya, rumah K. Nur Salim dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan untuk permasalah dana Ibu Rufiati dan mbah Muslimah memutuskan untuk berjalan-jalan dari Senori sampai ke Leran yang tak lain dan tak bukan adalah untuk meminta sumbangan dari warga. Sumbangan se-ikhlasnya dari warga kala itu berupa beras, terkadang mendapat 1 Tompo (1,5 Kilogram) dan jika beruntung bisa sampai mendapat 3 Tompo (3 Kilogram), bahkan sesekali pernah tidak mendapatkan beras.
Setelah K. Chudlori yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Mualimat wafat, kepemimpinan diteruskan oleh KH. Moch. Muhjiddin Munawar (mbah mad), setelah itu diganti Bapak Abdul Rosyad, B. A. Dilanjutkan lagi oleh Bapak Wahab.
Perjalanan Madrasah Mualimat berlangsung lama sampai sekitar 36 tahun, ditahun 1997 muncul inisiatif dari Pengurus Madrasah Islamiyah untuk mempersatukan seluruh madrasah di dalam Madrasah Islamiyah dengan nama Yayasan Sunnatunnur dengan alasan agar mudah terkoordinasi antar Madrasah. Perubahan ini juga berpengaruh terhadap Madrasah Mualimat, nama Mualimat diganti dengan Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Banat.



______
Narasumber tulisan ini adalah nenekku sendiri, Hj. Rufiati binti KH. Masyhuri.
Saya juga alumni MTs. Islamiyah Banin (cowok) lulus tahun 2011


Selasa, 19 Juli 2016

Perjuangan Jomblo tapi Toleran

   
Foto dari alienco.net

      Dalam dunia hewan ada yang namanya musim kawin, kalau di dunia manusia ada yang namanya bulan Syawal. Benar sekali, pada bulan ini terop-terop didirikan. Kabar nikah terdengar. Undangan tersebar di mana-mana. Karena katanya bulan ini adalah bulan penuh berkah (untuk kawin) dan bulan yang sangat tepat untuk menunjukan jati diri seorang jomblo, yang mana Jomblo tapi Toleran.

“Dia nikah loh
Dia sudah punya momongan loh
Dia sudah nggendong anaknya mantan loh!” *Krik
      
      Seperti yang sudah pernah saya posting di Instagram kemarin, saya mendapat beberapa undangan menghadiri mantenan, disusul dengan beberapa kabar saya terima akan ada kawan yang nikah. Sebagai seorang yang jomblo flamboyan, ehm maaf Gus Mul saya tidak hendak meniru istilah sampean loh, saya cukup toleran menghadapi keadaan ini. Flamboyan di sini adalah seorang yang menempatkan diri sebagai obyek dalam hal asmara. Dan sampai saat ini masih menunggu. muni ae jomblo rapayu jon.

      Bentuk toleransi tersebut saya buktikan dengan tidak menganggu ritual pernikahan kawan-kawan saya. Seperti mendoakan agar hujan turun layaknya adat klasik para jomblo-jomblo saat malam Minggu hingga dengan merubuhkan terop seperti di gambar meme yang tersebar. Terlalu ekstrim jika saya lakukan hal itu. Toh jikalau sampai berurusan dengan pak pulisi, saya bisa mendapat catatan merah. Pupus sudah harapan mulia saya jadi PNS.

      Terkadang saya harusnya berterimakasih kepada kawan saya yang hanya memberi kabar pernikahannya tanpa memberi sepucuk surat undangan. Iya, Tidak ada kewajiban hadir dan ehm ngamplopi. Cukup doa beserta kata-kata samawa yang dikirimkan lewat sosial media. Bukan bermaksud menjadi sangat perhitungan, toh mata pelajaran hitung-hitungan saya warnanya oranye yang artinya hampir merah. Tapi coba kita cermati lagi, kabarnya kawan saya yang nikah jumlahnya ada tiga bahkan lebih. Itu belum yang saya dapat undangan. Belum lagi sakitnya ditinggal kawan nikah yang rasanya seperti saat Rossi diselip Marquez. Masalahnya bayaran seorang layouter lepas yang tanpa penyemangat pun tidak cukup untuk mengamplopi para anak adam dan hawa yang akan mengarungi bahtera rumah tangga ini. Apalagi kemarin habis mundur dari salah satu penerbit gara-gara pihaknya sudah tidak mengambil pekerja lepas. Ngenes.
     
      Dalam toleransi ini saya tidak berharap timbal balik. Saya juga  enggak bilang ikhlas, karena surat Al-ikhlas tidak ada kata ikhlasnya. Tetapi setidaknya apakah sampean-sampean mboten pengertian kepada koloni-koloni yang rapuh ini? Meski Jomblo yang Toleran kiranya tidak akan sepadan dengan Jomblo tapi Hafal Pancasila.

______
Mohammad Iqbal mengucapkan Semoga Sakinah Mawadah Warrohmah kawan-kawanku yang akan lebih dulu mengarungi bahtera rumah tangga. Pesenku nek ono amplop seng jenengku, ojo bukak neng jobo. Saru.
"Kalau ada amplop yang ada nama saya, jangan dibuka di luar. Tabu."



Surat Terbuka untuk Satpam UINSA


             Salam hormat Pak Satpam yang keren. Mengalahkan aktor Vino Bastian pemeran Kasino di Film Warkop Dki Reborn yang akan rilis bulan September nanti.

Mungkin Pak Satpam belum mengenal saya, perkenalkan saya adalah mahasiswa serabutan. Bukan siapa-siapa kok, Pak. Sehingga ketika saya keluar kampus menggunakan sepeda motor, bapak harus tetap mengecek STNK saya.

Oh iya, di kampus ini, saya juga pernah keluar-masuk kampus tanpa STNK. Bukan bermaksud sok mengekslusifkan diri, pak. Bukan juga bermaksud melanggar aturan. Tetapi memang STNK saya kemarin sedang mencari jati dirinya (baca; hilang). Jadi saya menggunakan surat keterangan kehilangan dari Polsek setempat. Tapi lupakan, itu sudah lama, bulan April kemarin, Pak.

Pak Satpam yang terkadang saya pernah terharu ketika melihat Bapak sedang duduk beristirahat dengan topi menutup muka. Bapak pernah tahu tidak jumlah mahasiswa  yang keluar masuk kampus setiap harinya? Bukan saya berniat memberi tebakan (pertanyaan) yang  garing. Memang bukan tugas bapak juga untuk mendata jumlah mahasiswa. Tapi apakah bapak tidak capek dan bosan?

Bapak setiap pagi, dari waktu dedek-dedek gemez berangkat menghadiri kelas intensif bahasa, hingga jam petang ditutupnya gerbang (meski gerbang tidak pernah ditutup) bapak selalu stay di jalan arus keluar-masuk kampus. Meski terkadang bapak memindah-mindah letak tenda arus keluar kampus, tempat pengecekan STNK. Ketika pagi hari di gerbang depan Sport Center. Ketika sore arus keluarnya di gerbang utama. Mungkinkah hal itu untuk menghilangkan rasa bosan bapak yang kerjanya selalu ngecek STNK para sivitas akademisi UINSA, Pak?

Pak Satpam yang saya hormati, sering bukan lihat dedek-dedek gemez yang sedang foto unyu di depan Twin Tower? Tau tidak alasannya, kenapa suka sekali mereka foto di sana? Bukan hanya karena gedung ini baru, menurut perpektif saya karena gedung ini juga unik, makanya rame dibuat foto-foto, Pak. Kalau kata Manajer Proyek Pembangunan Kampus, gedung ini ornamennya beda sama kampus-kampus lain. Campuran antara ornamen khas dunia belahan timur sampai Jawa Timuran. Bapak manajernya itu kalau saya tidak salah ingat Zaini namanya. Mungkin bapak kenal atau pernah disapa saat keluar kampus UINSA. Iya sembari mengecek STNK mahasiswa, Bapak menjawab sapaan beliau. Dan dengan santai beliau lewat.

Sebenarnya saya tidak akan membahas itu secara panjang lebar. Selanjutnya saya akan membahas tentang kamera pak. Kamera sekarang itu banyak modelnya, yang pasti semakin canggih dan bikin wajah yang difoto menjadi berbeda sekian derajat cakepnya. Jadi apa hubungannya dengan Bapak? Iya ada, Pak.
Bapak mungkin jangan sekali-kali lagi meminjamkan kamera Bapak untuk dedek-dedek gemez yang mau berfoto ria.

"Loh, kapan? Saya tidak pernah, mereka sudah punya kamera sendiri."

Pasti Bapak dengan lantang layaknya seorang satpam akan menjawab seperti itu, santai pak saya hanya memberi saran.

Bukan bermaksud menuduh yang tidak-tidak pak. Tetapi saya sering lihat kabel kamera CCTV Anda kok tidak tersambung dengan semestinya? Apakah mungkin habis dibawa dedek-dedek gemez karena fotonya kurang bagus sehingga pinjam kamera Bapak? Terus Bapak lupa mencolokkan lagi ke sambungan yang semestinya? Benarkah begitu itu?

Kalau Bapak memang memiliki alasan karena ingin berbaik hati kepada mahasiswa, tidak apa-apa sih. Tetapi jangan lupa mencolokan kembali seperti sediakala, Pak. Kan itu hak para pengendara yang lewat situ pak. Selain dicek STNK-nya. Pengendara juga berhak mendapatkan dokumentasi dari kamera CCTV Bapak. Anda sendiri juga kan yang memberi tulisan semacam "Area CCTV, tolong buka Helm, Slayer..." Itu artinya kami sebagai pengendara dipersilakan atau diharuskan dijepret kamera CCTV sebelum lolos keluar? Bukan begitu, Pak? Kalau CCTV hanya ada dengan kabel tidak terpasang dengan semestinya terus kegunaannya apa ya, Pak?

Bukannya membanding-bandingkan, saya mau sedikit cerita, Pak. Diawal Desember 2015 lalu organisasi saya mengadakan acara Seminar Nasional, berhubung acaranya lumayan besar sampai mendatangkan anaknya Amin Rais yang penulis itu loh, sehingga saya pada saat itu ditugaskan untuk membantu mengirim surat undangan ke saudara-saudara Pers Mahasiswa Se-Surabaya. Singkat cerita saya sampai di Kampus A (maaf saya tidak sebutkan namanya). Di arus masuk kampus tersebut saya tidak disambut oleh Pak Satpam yang menjaga. Para satpam hanya memantau dari posnya yang tidak jauh. Saya di jalur masuk hanya dihadapkan dengan mesin tiket otomatis dengan dilengkapi dengan CCTV. Sebelum saya bisa masuk, saya harus memencet tombol agar palang masuk terbuka dan saya bisa mengambil tiketnya. Selain tombol masuk di sana ada sensor Kartu Tanda Mahasiswa. Mungkin, mahasiswa di sana bisa masuk tanpa tiket. Sehingga mereka hanya menyodorkan Kartu mereka dan masuk seperti saya setelah mendapat tiket. Tapi sayangnya saya mendapatkan sedikit problem. Tiket saya tidak keluar tapi palang mempersilakan saya masuk. Untuk kasus ini saya jelaskan nanti. Saya kemudian memarkiran sepeda motor di kampus yang berlabel swasta ini.

Setelah saya masuk, saya menyelesaikan urusan saya. Menemui orang yang terkait. Memberikan surat undangan dan beberapa penjelasan singkat. Kemudian saya berniat pulang. Ternyata tidak seperti ketika masuk tadi. Ketika keluar saya dimintai tiket oleh satpam. Saya kemudian menjelaskan jikalau tiket saya tidak keluar dari mesinnya tadi. Kemudian Pak Satpam mengecek komputernya. Sebelumnya dilihat plat saya dan ditanya sudah berapa lama saya masuk.  kemudian dicocokan dengan rekaman CCTV yang sudah tersimpan otomatis. Iya, terbukti kalau tiket saya tidak keluar. Kemudian pak satpam lain mengecek mesin tiketnya. Kemudian entah diapakan, tiket saya berhasil keluar. Singkat cerita saya akhirnya bisa kembali melanjutkan pengiriman surat undangan ke kampus lain.

Begini loh Pak Satpam UINSA, apakah Anda tidak ingin menggunakan sistem yang lebih efektif dan lebih fair(ehm). Seperti di atas mungkin. Okelah, contoh di atas mungkin memang terdapat problem, yang intinya harus ada pengecekan rutin untuk mesin otomatisnya. Tetapi intinya Anda tidak capek-capek mengecek STNK, dan mahasiswa tidak usah lupa untuk membawa STNK sehingga tidak bisa keluar kampus. Atau yang lebih ekstrim STNK sampai hilang. Ingat, Pak. Rumah kami ada yang jauh ada yang dekat. Kami terkadang tidak bisa mengambilnya di rumah. Meminta surat keterangan di fakultas? Kami pulang jam 4 ketika pihak Dekanat sudah pulang. Kami juga bukan para petinggi kampus yang bisa langsung lewat. Jadi mungkin bisa Pak Satpam mengusulkan ke atasan Bapak untuk keluar masuk kendaraan menggunakan sistem tiket dan kamera CCTV yang memang "benar-benar" mekan(baca; nyala), Pak. Fair kan.

Hanya sekadar saran, Pak. Intinya bapak yang lebih berpengalaman tentang keamanan. Silakan disesuaikan dan se-World Class mungkin. Se-fair mungkin. Se-aman mungkin. Menuju World Class University (WCU) harus diawali dengan hal-hal sepele kan, Pak? Tetapi apakah masalah keamanan se-sepele itu? Tidak. Meski ada beberapa mahasiswa prodi saya masih belum mengerti tentang WCU, dan saya masih belum mengerti secara mendalam tentang konsepannya meski sudah baca buku UINSA EMAS, namun saya sebagai mahasiswa UINSA mendukung penuh untuk itu, Pak.

Best regard.


 _____________

Tulisan ini dibuat tidak untuk memperburuk keadaan pun bukan untuk menyudutkan berbagai pihak. Hanya untuk saling mengingatkan. Karena Salah dan Lupa adalah milik kita dan kebenaran hanya milik penguasa, loh. 


butuh sumber? source: http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/265266/resmikan_twins_tower_rp_375_m,_calon_mahasiswa_uinsa_bertambah.html


Sabtu, 25 Juni 2016

Sayap-sayap Kipas dan Problema Kehidupan

Ada satu kipas angin di rumah saya. Bermodel duduk sehingga terkadang butuh kursi jika menginginkan kipas ini menjangkau titik-titik tertentu. Layaknya kipas yang ada di rumah-rumah, kipas ini mempunyai beberapa pilihan kecepatan. Satu, dua, dan tiga. Kecepatan berputarnya akan meningkat mengikuti urutan angkanya yang kita bisa pilih. Tentunya, hawa dingin yang akan tercipta juga sesuai dengan tingkat kecepatan yang kita tentukan.
Namun berbeda dengan kipas kesayangan saya ini, diangka berapapun kecepatannya, hawa dinginnya akan sama. Iya, sama atau bisa dikatakan beda, sangat sedikit sekali. Tetapi kecepatan muternya tetap. Kenceng sesuai angkanya. Saya sempat berpikir macam-macam. Apakah ini efek dari climate change? Ah terlalu jauh. Tetapi rasa skeptis saya muncul. Kemudian saya mematikan lalu memerhatikan kipasnya. Beberapa detik kemudian. Saya mendapatkan sebuah keganjilan. Ternyata kipas saya punya keunikan. Dia berbeda dengan kipas normal yang lain. Sayap kipas di dalamnya, yang berotasi, jumlahnya sudah tidak genap seperti sediakala. Ada sekitar dua sayap yang seperti terpotong. (Dua detik kemudian). Saya akhirnya ingat dengan sesuatu. Kipas ini adalah korban kenakalan saya. Dulu waktu MI kelas 6 (mungkin) pernah saya memasukan obeng (sumpah tidak sengaja) melalui celah-celah samping kipas. Hal itu akan biasa saja jika waktu itu kipas tidak berputar. Sayangnya pada saat itu, kipas diatur agar berputar dengan kencang karena cuaca kemarau membuat suhu rumah panas. Alhasil, bisa ditebak. Ssayap kipas patah. Saat itu hanya satu sayap. Sehingga ketika dinyalakan, kipas menjadi tidak stabil .Kipas menjadi "gedek-gedek". Sehingga ayah saya mempunyai ide untuk memotong satu sayap kipas lagi. Dengan itu kipas menjadi normal kembali. Normal berputar. Tetapi tidak dapat melakukan tujuan sebenarnya dengan baik. Jika direfleksikan ke dalam kehidupan. Sayap-sayap kipas yang tersusun ibarat sekelompok orang dengan tujuan yang sama. Dan menamai dirinya atas tujuan itu. Sehingga anggotanya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Ketika muncul sebuah masalah seperti kasus obeng tadi yang mengakibatkan terlepasnya salah satu anggota maka akan membuat sekelompok tersebut menjadi tidak stabil. Seperti kipas. Sehingga dalam kasus kipas kita harus cari akal bagaimana cara menstabilkan. Yaitu dengan memotong bagian sayap yang lain.
Tetapi apakah di dalam lingkup sekelompok orang tadi kita juga akan melepas anggota yang lain? Tidak. Bukan itu. Hanya ada satu kesamaan. Ketidakstabilan. Tapi berbeda dengan solving-nya. Dalam kasus ini kita harus memperkuat lagi. Memperkuat sayap-sayap yang lain. Sehingga jika ada sayap yang hilang jangan sampai sayap yang lain juga ikut terbang. Cukup satu atau tidak sama sekali. Jangan terulang lagi nanti. Masih ada kesempatan sayap yang patah untuk kembali. Meski butuh lem penguat yang mengakibatkan wujudnya berbeda dengan sayap yang lain. Tetapi apalah arti perbedaan jika substansinya lebih sangat ternilai harganya. Dan hawa dingin kipas akan tercipta. Sesuai dengan angka percepatan yang tertera. Dan tugas yang sebenarnya akan terlaksana.
_____________________ Tuban, 25 Juni 2016 2:20 am

Minggu, 19 Juni 2016

Fenomena Twin Tower UINSA: Ocehan dari Mahasiswa Pinggiran

Foto terpilih dari salah satu peserta Diklat Fotografi LPM Solidaritas diakhir Mei 2016
Mungkin ada yang belum sadar jika Twin Tower UINSA yang biasa digunakan oleh dedek-dedek gemes jadi latar selfie adalah proyek pembangunan yang didanai dengan pinjaman dari IDB dengan sejumlah dana hingga Rp 929 miliar. Cukup mahal jika dibandingkan dengan harga nasi bungkus "Mak Dangak"(Sebutan yang diberikan oleh pelanggan untuk warung yang terletak di balik Gedung Adab B UINSA, karena jika akan membeli makanan di sana harus dangak alias mendongakkan kepala ke atas sebab warungnya ada di atas pagar pembatas belakang UINSA). Oh, iya. Saya di sini tidak untuk menyoroti fenomena si eMak sebab bulan Ramadhan ini warung tersebut sementara tutup, yang pasti bukan karena razia satuan keamanan setempat, jadi kapan-kapan saja kalau sudah buka kita bahas ini. Dengan dana yang digelontorkan hingga sebesar “m” yang juga silihan (pinjaman), simbol menara kembar dibangun menghiasi wajah baru IAIN yang sudah menjadi UIN. Simbol ini tidak hadir hanya untuk menjadi tempat selfie yang keren semata, ada suatu hal yang sedang dikomunikasikan oleh para intelektual UINSA tentang konsep integrated twin towers. Dalam kajian bahasa yang tidak sengaja saya dalami diperkuliahan, ada seorang filsuf bernama Ferdinand De Saussure pencetus Sign Theory.
Dalam teori Saussure ini kajian tentang tanda atau semiotik dibagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika si Saussure adalah relasi antara penanda dan pertanda berdasarkan konvensi atau kesepakatan, biasanya disebut dengan signifikasi. Perumpamaan simbol integrated twin towers bisa disebut sebagai signifier atas konsep pendidikan tinggi yang ada di UINSA. Konsep integrasi yang mana diinterprestasikan dengan menara kembar yang tersambung ini menjadi simbol terkomunikasikannya ilmu umum dengan ilmu agama. Konsep islamisasi ilmu yang tidak diterima oleh intelektual UINSA pada tahun 2008-2012 tidak diperlukan sehingga keilmuan agama dan umum dibiarkan berjalan di relnya masing-masing yang penting pada intinya keilmuan tersebut harus dikomunikasikan. Penjelasan tersebut dibahas dalam buku karya mantan Rektor UINSA, Prof. Nur Syam asal Tuban, Menegaskan Kembali Integrative Twin Tower.

Tetapi ketika akan menghubungkan signifier (Twin Tower) pesan dari intelektual UINSA dan signified (pertanda atau makna) yang akan dimaknai oleh khalayak umum beda dengan signifikasi yang mana konvensional atau membutuhkan kesepakatan umum.
Dalam kasus ini pemberi tanda harus memberikan penjelasan yang logis tentang penandanya. Dilihat dari sisi pemberi tanda, konsep integrasi sendiri sepertinya kurang maksimal dijelaskan, banyak dedek-dedek gemes dengan jilbab yang kini diperbarui namanya menjadi jilbob yang mengambil foto bahkan sampai demo di depan gedung lantai 9 tersebut yang hanya mengambil unsur eksistensi sementara semata. Selain kurang maksimal dijelaskan mengenai tanda tersebut, sebagai salah satu anggota struktural formal pemberi tanda yang juga mempunyai slogan “Building Character Qualities: For the Smart, Pious, and Honorable Nation”, harusnya juga bersikap sesuai dengan isi slogan, sehingga dalam proses pembangunan kualitas karakter juga harus mencontohkan hal yang bisa dikatakan baik, seperti tepat waktu memberikan buku MKD (Mata Kuliah Dasar) penunjang keilmuan mahasiswa dan simbolis almamater berupa jas almamater. Proses pengenalan tanda tersebut dilancarkan juga melalui pembagian buku pengembangan akademik yang berisi lumayan tentang seluk beluk UINSA saat ospek yang biasa dikenal dengan OSCAAR (Orientasi Cinta Akademik dan Almamater). Tetapi dedek-dedek gemes sepertinya jadi salah fokus karena saat ospek panitia malah lebih menonjolkan apa yang tak harus ditonjolkan, loh. Seperti halnya, kasus yang terjadi saat ospek tahun lalu, panitia ospek yang membimbing dedek-dedek gemes malah terlihat tidak menonjolkan tentang seluk beluk akademik dan almamater kampus, malahan menonjolkan hal-hal lain yang saya rasa bukan milik kampus yang sekaan memiliki kampus. Mungkin bukan salah panitia secara keseluruhan, juga bukan salah struktural intelek UINSA tapi saya lah yang salah menuliskan ini.
Kasus demonstrasi di depan Monumen Integrasi Keilmuan yang beberapa media kampus katakan terdiri dari angkatan 2015 ini menamai dirinya sebagai Aliansi 15. Aksi ini membuahkan hasil yaitu realisasi oleh pihak yang bertanggung jawab untuk mempercepat penyelesaian Almamater tanggal 1 Juni 2016. Saya sempat terpukau dengan para adek-adek 15 yang semangat menggemborkan hak-hak yang belum terpenuhi, bahkan mahasiswa yang demo hingga ratusan. Keren. Tetapi lagi-lagi saya sempat juga heran, kok jarang atau tidak pernah di sini mahasiswa demo gara-gara dosen jarang masuk kelas, dosen hanya formallitas mengajar, atau dosen menagajar mata kuliah yang tidak dalam kompetensinya. Mungkin saja kejadian tersebut tidak ada di UINSA? Ataupun ada tetapi jarang, atau ada tetapi dianggap tidak ada, loh.

*Ditulis di Sekretariat Lpm Solidaritas UINSA 18 Juni 2016

Rabu, 15 Juni 2016

Sebuah Memori yang Ditemukan Kembali - Jurnalistik

Di suatu waktu, saat aku masih sekolah di MI Sunnatunnur Senori, ternyata pernahku mengikuti kegiatan jurnalistik. Kegiatan itu diadakan oleh LAPIS, salah satu program pengembangan dari Australia untuk sekolah-sekolah yang berbasis agama Islam di daerah pelosok. Menjelang acara itu, untuk menjaring peserta, panitia menyeleksi calon delegasi tingkat sekolahan masing-masing. Kalau tidak salah ingat, aku beserta kawan-kawan pada saat itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Ruangan yang pada saat aku masih duduk di bangku MTs. pernah menjadi Laboratorium Bahasa Sunnatunnur itu dipenuhi anak-anak yang riuhnya bisa dibayangkan sendiri. Maklum, seumuran itu adalah waktunya anak-anak dalam fase pencilak-an nya. Selang beberapa menit, panitia mengintruksikan untuk menggambar sebuah sekolah. Bukan hanya sekolah seperti biasanya, yang ada halaman untuk upacara, beberapa kamar mandi, dan ruang-ruang kelas untuk belajar. Tetapi mereka memberi sebuah acuan tema yaitu tentang "Sekolah Idaman". Sempat aku bingung. Tengok kanan. Tengok kiri. Tanya teman. Tetapi mereka sepertinya malah acuh dengan sebuah tema. Bahkan ada juga yang menggambar seekor Rakun (Oh iya, temanku yang menggambar Rakun ini dengar-dengar sekarang sudah menjadi teknisi di sebuah service center motor di Jakarta). Terlalu kreatif memang. Parahnya aku juga tidak terpikirkan untuk bertanya kepada panitia terkait penjelasan lebih lanjut. Sialnya juga mereka memberi hitungan mundur. Aku mulai untuk mencoretkan pensil warna yang ku miliki. Beberapa menit kemudian coretan pensil warna ku yang sudah tak lengkap jenis warnanya ini sudah selesai. Semua peserta tidak kembali ke kelas melainkan tetap di sana. Gaduh sekali. Salah seorang dari panitia masuk ke dalam ruangan. Sedikit gugup aku menanti sesuatu yang akan diumumkan panitia. "Silahkan yang bernama Bambang ikut saya". Wah ternyata si Bambang, adik kelasku, terpilih karyanya. Sorak teman-teman semakin riuh. "Oh iya, sama M.Iqbal juga!" Tambah panita setelah sempat sedikit berdiskusi dengan panitia lain. Seperti naik motor berkecepatan tinggi (padahal pada saat itu belum bisa naik motor), adrenalinku terpacu. Aku dengan kawanku tadi digiring ke ruang Perpustakaan MA pada saat itu (yang pernah menjadi ruang MA IPS Putra pada tahun 2010-2011 dan sekarang menjadi Kantor MTs. Banin yang sudah terbilang bagus bangunannya). Di sana aku bertemu banyak orang. Ada para dewan guru MI sendiri. Kepala Sekolah-ku, dan salah seorang guru yang pernah mengajar les komputerku yang teryata juga tergabung dalam LAPIS. Salah satu panitia, belakang ini baru aku tahu kalau dia juga alumni MA, menanyai kita yang sudah lolos tadi. Oh iya, ternyata bukan aku dan kawanku saja tetapi juga dari MI Banat ada 2 anak. Jadi sekolahku dulu dipisah, Banat untuk cewek dan Banin untuk sebutan sekolah cowok. Pertanyaan demi pertanyaan aku jawab dengan begitu polosnya saat itu. Aku menjawab dan bercerita kenapa aku menggambar sebuah sekolah yang menurutku idaman tersebut dengan 8 WC di sana. Mungkin karena sering antre WC sekolah atau WC sekolahku pada saat itu masih kurang layak. Sedikit lupa, hehe. Selain itu sekolah yang ku gambar dihiasi dengan sungai, hutan, pegunungan, serta persawahan. Sempat terpikirkan juga sekarang, apa tidak takut hewan buas jika situasi dan kondisinya seperti itu, hehe. Tapi entahlah, intinya dulu keinginanku hanyalah sekolah yang nyaman, sejuk, enggak panas dan gersang. Jawabku singkat. Disusul dengan jawaban dari teman-temanku yang lain akhirnya kami dipersilahkan untuk pulang. Singkat cerita, aku pulang menuju rumah yang berjarak sekitar 1 km ke Timur dari sekolahku. Menggunakan sepedah gunung merek Jie-Yang, pemberian bapakku, biasanya cukup 15 menit aku menempuh perjalanan. Cukup cepat juga, soalnya akses jalan yang sudah baik dan cukup lurus saja untuk menuju rumah. Setelah sampai, seperti anak normal yang lain, aku melaporkan (menceritakan) apa yang kualami di sekolah kepada ibuku, cuma beliau saja karena bapakku pada saat itu sudah berangkat mengajar. Dan inilah awal yang tak kuduga. Awalku keliling Jawa Timur. Studi banding ke sekolah-sekolah ternama. Pengalaman menginap di hotel yang pertama kali-ku. Dan Awalku masuk dunia jurnalistik. :)
(Lu..pa, Sapto,Afi, Lutfi, Bu Uun, dan saya yang motret)
Foto ini diambil di depan kamar flamboyan Hotel Mustika Tuban Jawa Timur
Setelah puncak acara LAPIS yaitu Pentas Seni 1 Maret 2008
"Semoga sukses kawan-kawan LAPIS di mana pun kalian berada"
Diberdayakan oleh Blogger.