Minggu, 19 Juni 2016

Fenomena Twin Tower UINSA: Ocehan dari Mahasiswa Pinggiran

Foto terpilih dari salah satu peserta Diklat Fotografi LPM Solidaritas diakhir Mei 2016
Mungkin ada yang belum sadar jika Twin Tower UINSA yang biasa digunakan oleh dedek-dedek gemes jadi latar selfie adalah proyek pembangunan yang didanai dengan pinjaman dari IDB dengan sejumlah dana hingga Rp 929 miliar. Cukup mahal jika dibandingkan dengan harga nasi bungkus "Mak Dangak"(Sebutan yang diberikan oleh pelanggan untuk warung yang terletak di balik Gedung Adab B UINSA, karena jika akan membeli makanan di sana harus dangak alias mendongakkan kepala ke atas sebab warungnya ada di atas pagar pembatas belakang UINSA). Oh, iya. Saya di sini tidak untuk menyoroti fenomena si eMak sebab bulan Ramadhan ini warung tersebut sementara tutup, yang pasti bukan karena razia satuan keamanan setempat, jadi kapan-kapan saja kalau sudah buka kita bahas ini. Dengan dana yang digelontorkan hingga sebesar “m” yang juga silihan (pinjaman), simbol menara kembar dibangun menghiasi wajah baru IAIN yang sudah menjadi UIN. Simbol ini tidak hadir hanya untuk menjadi tempat selfie yang keren semata, ada suatu hal yang sedang dikomunikasikan oleh para intelektual UINSA tentang konsep integrated twin towers. Dalam kajian bahasa yang tidak sengaja saya dalami diperkuliahan, ada seorang filsuf bernama Ferdinand De Saussure pencetus Sign Theory.
Dalam teori Saussure ini kajian tentang tanda atau semiotik dibagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika si Saussure adalah relasi antara penanda dan pertanda berdasarkan konvensi atau kesepakatan, biasanya disebut dengan signifikasi. Perumpamaan simbol integrated twin towers bisa disebut sebagai signifier atas konsep pendidikan tinggi yang ada di UINSA. Konsep integrasi yang mana diinterprestasikan dengan menara kembar yang tersambung ini menjadi simbol terkomunikasikannya ilmu umum dengan ilmu agama. Konsep islamisasi ilmu yang tidak diterima oleh intelektual UINSA pada tahun 2008-2012 tidak diperlukan sehingga keilmuan agama dan umum dibiarkan berjalan di relnya masing-masing yang penting pada intinya keilmuan tersebut harus dikomunikasikan. Penjelasan tersebut dibahas dalam buku karya mantan Rektor UINSA, Prof. Nur Syam asal Tuban, Menegaskan Kembali Integrative Twin Tower.

Tetapi ketika akan menghubungkan signifier (Twin Tower) pesan dari intelektual UINSA dan signified (pertanda atau makna) yang akan dimaknai oleh khalayak umum beda dengan signifikasi yang mana konvensional atau membutuhkan kesepakatan umum.
Dalam kasus ini pemberi tanda harus memberikan penjelasan yang logis tentang penandanya. Dilihat dari sisi pemberi tanda, konsep integrasi sendiri sepertinya kurang maksimal dijelaskan, banyak dedek-dedek gemes dengan jilbab yang kini diperbarui namanya menjadi jilbob yang mengambil foto bahkan sampai demo di depan gedung lantai 9 tersebut yang hanya mengambil unsur eksistensi sementara semata. Selain kurang maksimal dijelaskan mengenai tanda tersebut, sebagai salah satu anggota struktural formal pemberi tanda yang juga mempunyai slogan “Building Character Qualities: For the Smart, Pious, and Honorable Nation”, harusnya juga bersikap sesuai dengan isi slogan, sehingga dalam proses pembangunan kualitas karakter juga harus mencontohkan hal yang bisa dikatakan baik, seperti tepat waktu memberikan buku MKD (Mata Kuliah Dasar) penunjang keilmuan mahasiswa dan simbolis almamater berupa jas almamater. Proses pengenalan tanda tersebut dilancarkan juga melalui pembagian buku pengembangan akademik yang berisi lumayan tentang seluk beluk UINSA saat ospek yang biasa dikenal dengan OSCAAR (Orientasi Cinta Akademik dan Almamater). Tetapi dedek-dedek gemes sepertinya jadi salah fokus karena saat ospek panitia malah lebih menonjolkan apa yang tak harus ditonjolkan, loh. Seperti halnya, kasus yang terjadi saat ospek tahun lalu, panitia ospek yang membimbing dedek-dedek gemes malah terlihat tidak menonjolkan tentang seluk beluk akademik dan almamater kampus, malahan menonjolkan hal-hal lain yang saya rasa bukan milik kampus yang sekaan memiliki kampus. Mungkin bukan salah panitia secara keseluruhan, juga bukan salah struktural intelek UINSA tapi saya lah yang salah menuliskan ini.
Kasus demonstrasi di depan Monumen Integrasi Keilmuan yang beberapa media kampus katakan terdiri dari angkatan 2015 ini menamai dirinya sebagai Aliansi 15. Aksi ini membuahkan hasil yaitu realisasi oleh pihak yang bertanggung jawab untuk mempercepat penyelesaian Almamater tanggal 1 Juni 2016. Saya sempat terpukau dengan para adek-adek 15 yang semangat menggemborkan hak-hak yang belum terpenuhi, bahkan mahasiswa yang demo hingga ratusan. Keren. Tetapi lagi-lagi saya sempat juga heran, kok jarang atau tidak pernah di sini mahasiswa demo gara-gara dosen jarang masuk kelas, dosen hanya formallitas mengajar, atau dosen menagajar mata kuliah yang tidak dalam kompetensinya. Mungkin saja kejadian tersebut tidak ada di UINSA? Ataupun ada tetapi jarang, atau ada tetapi dianggap tidak ada, loh.

*Ditulis di Sekretariat Lpm Solidaritas UINSA 18 Juni 2016
Diberdayakan oleh Blogger.