Minggu, 09 April 2017

UINSA Harus Utamakan Esensi untuk Kejar Akreditasi

Sudah termaktub dalam Undang-undang tentang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012, kampus sebagai pelaksana pendidikan tinggi wajib menyelenggarakan Tridharma Peguruan Tinggi. Tiga kewajiban tersebut, yang juga harus sejak awal ditanamkan kepada para mahasiswa, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Hal itu secara berkelanjutan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai bentuk penjamin mutu perguruan tinggi dalam menjalankan tiga kewajiban tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mempuyai Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).  Menurut acuan Permenristekdikti No. 32 Tahun 2016, BAN-PT memberikan masa berlaku akreditasi selama 5 tahun dan akan diadakan penilaian kelayakan ulang. Untuk hal ini ada kampus yang begitu menginginkan supaya bisa mempertahankan akreditasi bagus yang telah diperoleh atau meningkatkan raihan akreditasi. Terkadang sampai melakukan beberapa hal yang cenderung berseberangan dengan nilai-nilai utama perguruan tinggi. 
Dari pengamatan penulis di kampusnya, program studi akan melakukan persiapan sebagus mungkin ketika tim assessor dari BAN-PT datang. Situs resmi UINSA www.uinsby.ac.id menyatakan sudah 75% prodi di UINSA yang terakreditasi A. Namun, menurut Wakil Rektor I bidang Akademik, Dr. Syamsul Huda, UINSA sudah memilik prodi terakreditasi A 60% dari seluruh prodi. Sayangnya obsesi terhadap akreditasi ini terlalu menggebu-gebu. Titik fokus utamanya adalah mencapai tingkatan akreditasi yang lebih tinggi. Mengingat kampus akan mendapat bantuan anggaran yang lebih tinggi jika akreditasi prodinya mayoritas A. Namun pada kenyataannya bukan kualitas atau esensi yang ada. Ada sesuatu yang terselip dan seperti disembunyikan. Kinerja dosen dalam proses pembelajaran pun masih kurang maksimal. Dosen yang kurang berkompetensi dengan mata kuliah yang diampu masih bertebaran. Frekuensi tinggi ketidakhadiran dosen juga meliputinya.
Sayangnya mereka yang berkepentingan masih belum berani jujur dan mulai berbenah. Penulis pernah melakukan wawancara kepada salah satu mahasiswa pemangku kebijakan yang tidak bisa dipandang remeh di organisasi himpunan mahasiswa prodi, dimana belakangan ini telah didatangi tim assesor dari BAN-PT. Narasumber tersebut mengaku jika mahasiswa telah mendapat intervensi dari pihak dekanat sebelum mereka bertemu tim assessor.
Tidak salah lagi, intervensi dimaksud berupa instruksi kepada mahasiswa supaya menjawab sesuai dengan keinginan dekanat. Bukan atas realita yang ada. Adakah ketakutan tersendiri dengan kenyataan yang ada? Selain itu, narasumber dari mahasiswa prodi lain di fakultas berlabel kuning, malah mengaku himpunan mahasiswa prodinya tidak diikutkan dalam proses akreditasi. Pihak pemimpin tertinggi di prodi tersebut pun mengaku tak mengikutkan organisasi hanya karena libur kuliah. Pihak tertinggi tersebut mengklaim hanya mengambil perwakilan mahasiswa umum.
Agaknya kampus sebagai tempat para manusia bebas untuk mengembangkan intelektualnya, harus mulai berbenah meski berisiko. Supaya akreditasi tidak menjadi pemahaman yang menyesatkan. Tampil di muka gemerlapan. Sivitas akademik yang di dalam dipertanyakan. Sebagaimana George W. F. Hegel memberi kesaksian dalam Phenomenology of Mind yaitu hanya dengan mengambil risiko hiduplah kebebasan dapat dicapai. Seorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya tak diragukan tetap dapat diakui sebagai pribadi. Namun tidak akan mencapai hakikat pengakuan tersebut yang mana sesuatu kesadaran diri yang mandiri.
Kesadaran diri ini tidak berarti semerta-merta menjadikan pihak pemangku kepentingan di kampus menyerah kepada realita yang ada. Namun dengan kebebasan ini kampus harus berani melakukan reformasi di dalam sistem yang ada. Membekukan kultur bersembunyi dari keadaan yang sekarang dan melakukan perubahan luar-dalam. UINSA akan menjadi kampus yang benar-benar diakui dari luar dan dalam. Selangkah lebih dekat dengan World Class University.
Selain itu, para stakeholder UINSA, harus lebih terbuka kepada mahasiswa. Interaksi dengan mahasiswa mesti diutamakan. Mahasiswa juga punya andil dalam akreditasi kampusnya. Mahasiswa organisatoris maupun bukan, mereka adalah warga UINSA yang ikut juga bertanggung jawab dengan kampusnya. Keinginan lekas mendapat hasil akreditasi bagus harusnya juga tidak menjadi titik utama, jika boleh penulis meminjam pendapat dari Tan Malaka dalam bukunya Materialisme Dialektika Logika (Madilog, Bab III Ilmu Pengetahuan-Sains) “Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu sendiri.”
Wallahul Muwafiq ila Aqwami Thoriq.
*) Mohammad Iqbal, Mahasiswa Aktif Semester 6 Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, sekaligus Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surabaya 2016.


Artikel ini juga pernah dimuat di Koran Beranda Edisi Februari-Maret 2017
Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas  UIN Sunan Ampel Surabaya


Diberdayakan oleh Blogger.