Senin, 30 April 2018

Membaca Murakami

Aku menulis catatan ini setelah aku meletakkan buku memoar Haruki Murakami yang berjudul What I Talk About When I Talk About Running

Seperti kebiasaanku, aku tak bisa menyelesaikan membaca buku dalam satu kali duduk. Apapun buku itu, baik jika dikatakan buku yang "menurut kawan" bisa dituntaskan sekali duduk saja, aku harus membacanya minimal tiga hari. Aku membaca buku milik Murakami kali ini sebenarnya tak disengaja, bahkan aku tidak tahu awalnya jika buku tersebut adalah sebuah memoar perjalanannya ketika memutuskan untuk ikut lari maraton 2005 lalu. Dan benar, ini bukan buku sastra yang aku harap sebelumnya. Atau singkatnya ini bukan buku fiksi meski memunculkan imajinasi. Hehew~  colek Rocky Gerung.

The New York Times menuliskan sebuah catatan di sampul buku tersebut "Buku ini akan membuat fans Murakami tergila-gila, bahkan sebelum sampai ke kasir." Sebuah catatan yang secara tersirat ingin mngatakan jika buku ini layak dibaca bahkan sebelum anda menuntaskan seluruhnya.

Murakami bercerita awal karirnya tidak langsung di dunia kepenulisan, namun ia sebelumnya punya sebuah bisnis bersama sang istri berupa kelab. Hingga ia memutuskan untuk menutup bisnisnya untuk masuk dalam dunia mengarang. "Pada dasarnya aku adalah tipe yang harus berkomitmen total terhadap suatu hal yang dikerjakan," (Murakami 38).

Keputusan tersebut diambil olehnya setelah ia berhasil menulis dua karya pertamanya: Kaze no Uta o Kike (Hear the wind Song) dan 1973-Nen no Pinboru (Pinball, 1973) yang ia selesaikan di sela-sela mengurus bisnis. Ia menyatakan belum mendapat kepuasan ketika menyelesaikan novel tersebut, maka akhirnya secara alamiah ia ingin mencoba membuat karangan yang lebih besar lagi dengan keputusan fokus terhadap satu karir saja: penulis.

Sudah bisa ditebak, orang-orang disekitarya tak setuju dengan misi tersebut. Dengan penghasilan dari kelab yang lebih besar dari penulis pada saat itu, ia putuskan tanpa ragu-ragu. Ia tak meminta orang lain mengurus, mungkin menurutnya supaya lebih fokus, ia jual bisnis kelabnya tersebut. Keputusan itu diambil pada tahun 1981 dan sang istri ia ceritakan hanya menjawab "baiklah". Dengan sebuah rencana jika ia gagal dalam kepenulisan, ia akan membuka toko kecil-kecilan di sebuah tempat.

Selain bercerita tentang sebuah pilihan karir, buku ini juga bercerita tentang olahraga: lari. Murakami memiliki hobi berlari. Yang mendasari hobi tersebut menurutnya, dengan berlari ia bisa mendapatkan ruang hampa atau ia mendapatkan kesempatan untuk me time. Ia cenderung menyukai kesendirian, karena menurutnya, banyak hal yang bisa dilakukan sendiri. Meski begitu, ia sudah memutuskan tidak melajang dan menikah di usia 22 tahun.

Banyak hal yang bisa kita ambil ketika membaca buku ini, salah satunya bagaimana manusia harus punya sebuah prioritas dalam hidupnya.

Selamat membaca!


Kamis, 18 Januari 2018

Review Film: The Greatest Showman Tak Ada yang Lebih Pantas Diperjuangkan daripada Keluarga

http://media.21cineplex.com

Jika sekarang banyak bertebaran judul tak sesuai dengan isi yang diwakilinya, mungkin judul film di atas merupakan pengecualian. Film ini meyakinkan kembali manusia post-modern tentang popularitas yang tak benar-benar selalu mnyaengarahkan manusia kepada kebahagiaan.

Setelah Phineas Taylor Barnum, P.T Barnum, Barnum aja, seorang anak tukang jahit dari orangtua tak punya, dipecat dari tempat ia kerja karena perusahaan pelayaran bangkrut, ia memutuskan memutar otak untuk tetap bisa membuat keluarga kecilnya tersenyum. Chariti kekasih, berasal dari kelas atas, yang berhasil ia nikahi, dan kedua anaknya yang totally membuat saya terharu ini secara diiam-diam membuat saya ingin cepat berkeluarga. Eh.

Barnum kemudian pulang: pergi ke balkon rumah menemui kedua anaknya yang sedang tertawa tulus bersama istrinya selagi berlatih menari. Begitulah, lelaki seharusnya, tetap tegar sekalipun badai menerjang. Setelah itu, Scene film menunjukan seolah Barnum lupa atas ulang tahun anaknya. Namun, tiba-tiba ia membuka koper dan membuat rangkaian lilin dengan ditutupi kaleng. Rangkaian tersebut menciptakan cahaya yang indah selagi kaleng berlubang di atas lilin diputar. Dengan sangat sederhana. Mereka semua tersenyum bahagia.

Tak mau disebut sebagai ayah yang tak bertanggung jawab, Barnum bermodalkan kertas (kalau tidak salah kertas itu bukti kepemilikan kapal perusahaan yang sebenarnya sudah tenggelam di Tiongkok) meminjam uang di bank untuk membuat sebuah arena sirkus. Berisi benda-benda yang tak begitu menarik perhatian, seperti patung lilin, pertujukan Marie Antoinette yang dipasung membikin sirkusnya sepi pengunjung. Seharian dibuka. Hanya ada tiga pembeli tiket: Chariti dan kedua anaknya. Di bagian ini kalian boleh mulai terharu.

Dramatisnya, ide untuk membikin sirkus Barnum menjadi lebih ramai dari kedua anaknya. Ayah harus membuat isi sirkus lebih hidup, simpelnya seperti itu kata anaknya sebelum mereka tidur.
Akhirnya, Barnum membuka rekruitmen orang-orang unik. Orang yang terasingkan dari lingkungannya. Meski terbilang tak mudah, karena ada orang-orang yang harus dibujuk, Barnum berhasil mengumpulkan orang-orang tersebut. Dari si Anjing, si Perempuan berkumis, si Tinggi, si Berat, si Cebol dkk. Mereka adalah orang-orang yang disembunyika oleh orang tuanya dari publik.
Orang-orang unik tersebut merasa bersyukur bisa bekerja bersama Barnum. Pantasnya bukan bekerja, namun orang-orang tersebut merasa bisa diakui oleh khalayak karena akhirnya dianggap ada.

Skip. Dan. Skip. Takut kelewatan dan bisa disebut Spoiler. Hehe.

Konflik akhirnya dimulai. Seorang penyanyi matoh Swedia bernama Jenny Lind dipertemukan dengan Barnum. Sepertinya Jenny memendam rasa dengannya. Barnum menghindar karena ingat keluarganya yang setia. Di tengah tur nyanyi bersama sirkus Barnum. Jenny memilih mundur, mungkin karena merasa cintanya tak terbalas. Dan. Jenny memberikan ciuman perpisahan di akhir penampilannya kepada Barnum. Kamera langsung jeprat-jepret. Selain itu Barnum juga mulai ditinggalkan anggota sirkus uniknya, karena mereka merasa dilupakan semenjak kedatangan Jenny Lind.

Sialnya lagi. Di koran pagi, kabar mundurnya Jenny Lind dari tur dibumbui dengan berita skandal yang dibuat-buat dan ditaburi micin foto ciuman mesrah Barnum dan Jenny kala itu. Sudah ditebak. Charity meninggalkannya.

Tapi, seperti kata Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan JuniBagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri.” Ea....

Memang tak ada niat buruk sedikitpun dari Barnum. Dan. Akhirnya keluarga kecil ini pun kembali. Begitu pun juga sirkus orang-orang unik. Barnum akhirnya tak ingin melanjutkan mengurus sirkus ia memilih keluarganya dan mengurus anak-anaknya.

“Seperti inikah yang kau inginkan?..” tutur Barnum kepada Charity yang sedang bersandar dipundak Barnum saat menonton si Kecil pentas balet.

Latar film The Greatest Showman berada pada abad 19-an, merupakan film biografi diambil dari kisah nyata. Film ini tergolong film drama musikal. Ada banyak sesi nyanyi-nyanyi. Dan sangat direkomendasikan untuk ditonton bareng keluarga saat liburan. Ada adegan kissing beberapa kali sehingga mohon perhatiannya bagi yang mengajak anak di bawah umur. Ckikiki.
Silakan kunjungi bioskop terdekat.

Terima kasih~








Senin, 28 Agustus 2017

Kesaksian Pemulung


Cahaya itu amat terang dan terus mendekat ketika tubuh ini melewati dua besi yang berdampingan. Begitu silaunya, hingga aku tidak bisa melihat apapun. Seketika itu yang teringat hanya istriku, Patmi, di rumah. “Besok pagi nanti kita pasti makan enak,” namun lamunan tersebut dibuyarkan oleh teriakan orang di sekitar tempat itu, “Woi.. Pak!” Suara-suara manusia memecah suasana beserta dengan semakin mendekatnya cahaya. Aku tidak berniat jahat kenapa diteriaki. Bukan juga pencuri.

Aku hanya ingin membawa pulang uang hasil usahaku. Jalan ini tidak asing, sering juga kulewati. Ada apa dengan kalian? Kesadaranku bangkit ketika salah seorang berseragam oranye berlari mendekat. Mungkin mencoba menarikku. Tapi mungkin niat baiknya belum bisa menyelamatkan tubuh yang terlebih dulu disambar kereta. Cahaya itu turut hilang menyertai ketidaksadaranku. Selamat Tinggal Patmi.
***
Soal siapa namaku, sebenarnya tidak penting. Yang pasti berkeliling di sekitar komplek tempat kami tinggal menjadi sebuah keseharianku. Aku ditemani istriku Patmi di rumah yang kami sewa sudah hampir lima setengah tahun. Pemilik kontrakan sebenarnya sudah ingin meminta kami pindah dari sini. Bukan masalah kami telat membayar uang sewa. Tapi, barang-barang bekas ini terkadang membuat tetangga kami terganggu.

Sebelum jadi pemulung, kami memiliki usaha berjualan sandal. Wilayah kami berjualan terkadang di daerah Wonokromo terkadang juga di Kodam, tentu pada malam hari. Namun usaha tersebut tak berlangsung lama. Stok sandal yang biasa kami jual dicuri orang. Iya, dicuri. Bukan kami menduga-menduga tanpa bukti. Tapi ada sesama teman kami penjual merasa iri dengan dagangan kami yang sering laris pembeli. Mungkin sudah tidak perlu dibahas lagi. Jika boleh menghapus kenangan. Kami akan menghapus bagian ini.

Kami sudah tak punya modal untuk mengulang usaha ini dari awal. Terlalu berat. Dan terlalu bangsat orang yang mencuri barang dagangan kami. Apalagi Patmi, oh aku sedikit kecewa karena terlalu bersemangat kala itu, ia tengah mengandung tujuh bulan. Tidak bisa ditolak toh, kata orang juga anak pembawa keberuntungan meski perlu tambahan biaya nantinya. Berbicara tentang malam, malam itu, bulan sudah terlihat di tengah-tengah langit, kami duduk berdua di atas kursi kayu yang kaki-kakinya sudah mulai rapuh. “Mi, bagaimana kalau kita mengumpulkan modal lagi, mungkin berjualan kardus dan barang bekas, becak dan kaki-ku ini masih kuat, kok!” Sembari mengusap-usap perutnya dengan tangan kiriku aku meminta. Istriku hanya mengiyakan, kemudian ia terlelap dipundakku. Aku menyertainya pindah ke dalam.

Pagi buta, aku beranjak bekerja. Sebenarnya terserah kehendakku, tidak ada bos yang akan mengancam memotong gajiku jika kesiangan. Hanya saja yang pasti, aku akan menyetorkan barang-barang yang sudah kukumpulkan ke pengepul setiap minggunya. Kalau ditaksir, penghasilanku tidak menentu. Terkadang sehari bisa dapat 100 ribu. Pernah juga tidak mendapatkan barang sama sekali. Sering aku memohon kepada Patmi agar sedikit mengirit biaya belanjanya. Bahkan hingga menanam beberapa bakal jangan sendiri: bayam, kangkung, dan talas. Meski sejujurnya kehamilan Patmi menuntut akan gizi yang lebih baik untuknya. Tapi kami tetap makan seadaanya.

Sebelum berangkat mengayuh becak—yang kubeli dari almarhum Pak Siswo Ketua RT komplek ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rantau—aku selalu berpamitan dengan Patmi. Aku akan cium tangan dan keningnya. Semenjak Patmi mengandung aku juga mencium perutnya yang semakin membuncit itu. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri,” bisikku ke perut Patmi sambil tersenyum melihat matanya. Patmi selalu bertanya, mengapa aku sering membisikkan kata-kata itu. Aku hanya menjawab tentang keinginan anak kami yang nanti lahir bisa mempunyai semangat bekerja yang tinggi. Perihal berpamitan ini, bahkan jika Patmi sedang keluar, aku tetap akan mengusahakan untuk berpamitan. Terkadang melalui kertas yang kuselipkan di atas pintu.

Kami selalu berdoa setiap malam, mengharapkan sesuatu yang paling baik untuk keluarga kecil ini. Aku dan Patmi, serta calon anak kami. Tapi, dunia selalu berputar, terkadang aku ketiban sial. Pada suatu hari, aku sedang keliling komplek Limas. Siang itu, sepi sekali. Tumpukan kardus di pelataran samping rumah mewah berlantai 4 menarik mataku untuk melihatnya. Kuhampiri pelataran itu dengan becakku yang diatasnya sudah nangkring TV cembung yang kubeli 40 ribu dari komplek sebelah. Keberanianku membeli TV tersebut karena sudah kuperkirakan jika memperbaiki kerusakaannya tidak membutuhkan banyak biaya. Setelah itu bisa ku jual lagi dengan harga sepantasnya.

Pelataran tersebut tidak begitu luas. Biasanya terlihat banyak mobil parkir di sana. Siang itu hanya tiga mobil. Sepertinya milik yang punya rumah 4 lantai tersebut, namun itu bukan urusanku. Aku turun dari becak sambil menyeka keringat dengan kaos yang kupakai. “Kalau dikira-kirakan kardus ini bisa laku mahal,” gumamku . Cukuplah untuk tambahan modal Patmi lahiran. Aku ukur menggunakan tangan dengan semakin mendekati kardus tersebut. Tingginya dua setengah rentangan tanganku. “Jika benar harta karun ini bisa dibawa pulang, berarti rezeki Patmi.”

Sayangnya ada teriakan dari rumah 4 lantai tersebut. Teriakan tersebut mengakibatkan aku diusir dari tempat itu. Pakaianku yang lusuh mendukung keterusiran ini. Pemilik rumah yang sekaligus pemilik mobil menganggap aku akan mengambil roda mobilnya. Tidak ada yang percaya sedikitpun denganku. Entah kasihan atau apa. Ada satu orang yang menengahi kericuhan tersebut. Masyarakat membuat perjanjian, aku tidak boleh lewat komplek itu lagi.
***
Oh Patmi, Istriku. Usia kandungannya sudah mencapai waktu. Dia terus mengerang kesakitan, aku harus berbuat apa dengan uang yang tak seberapa. Berlari ke rumah Bu Siswo untuk meminjam sejumlah uang mungkin bisa jadi solusi. Bersyukur sekali, Istri almarhum Pak Siswo ini rela uangnya, yang sebenarnya untuk arisan, aku pinjam. Aku segera berangkatkan Patmi ke Puskemas.

Patmi melahirkan anak laki-laki. Tanpa cacat sedikitpun. Aku mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga  kirinya. Harapku kelak dia akan menjadi anak yang sukses: bersemangat juang tinggi seperti bapaknya ini. Patmi mungkin terharu, air matanya meleleh. Ku rangkul ia sekuat mungkin dengan mataku yang juga mulai basah.
***
Usia Nasihin, anak laki-lakiku, sudah menginjak tiga tahun. Waktu yang singkat untuk mengumpulkan uang yang cukup banyak dengan seragam dinas. Tapi tidak denganku. Pendapatan hasil mengumpulkan barang-barang bekas tidak menentu. Uang pinjaman dari Bu Siswo belum bisa aku kembalikan sepenuhnya. Hingga sungkan lewat depan rumahnya. 

Minggu yang cerah, aku tidak berkeliling komplek seperti biasa. Memang, Minggu adalah hari yang aku khususkan untuk Patmi dan Nasihin. Kami bercanda bersama dengan Nasihin. “Anak ini cerdas Mi, dia bisa mengingat-ingat nama orang yang pernah bertemu dengannya,” tuturku. Kami berdua tertawa ketika Nasihin salah menyebutkan beberapa nama yang pagi ini bertemu dengannya. Setiap pagi, Nasihin pasti kuajak jalan-jalan dan bertemu dengan tetangga sekitar.

Sore harinya, Pak Haji Syafi’i mendatangi rumahku, ia ingin aku membantunya mengambil beberapa barang di rumahnya yang lama untuk dipindah ke rumah baru. “Nggeh setelah ini saya akan berangkat, Pak!” Jawabku bersemangat. Anak memang pembawa keberuntungan. Setelah itu aku menyiapkan becak: mengecek tekanan ban, membersihkan debu yang menempel, dan membawa tali yang pasti akan dibutuhkan.

“Patmi... Patmi...” Sedikit berteriak. Aku teringat jika sore ini Ia diundang mengikuti tahlilan di rumah Bu Siswo. Aku tidak bisa berangkat jika tidak berpamitan. Seperti biasa jika Ia sedang keluar, catatan kecilku buat untuk berpamitan dengannya. Lalu kuselipkan di atas pintu. Sesampainya di rumah Pak Haji, ia memberikan rute ke rumahnya yang baru. “Nanti lewat pasar dan lewat perlintasan rel kereta, ya!” Pak Haji menjelaskan. Aku sudah terlalu paham karena rute tersebut memang sering kulewati. Aku berangkat.
***
“To, malam ini kamu mau enggak jaga perlintasan kereta depan bank?” Pinta seoarang laki-laki yang mukanya semakin pucat pasi kepada temannya. Panggilannya Broto, meski nama aslinya tak ada sedikitpun kata itu. Ucup meminta menggantikannya menjaga perlintasan. Kendati malam ini bukan tugas Broto, tapi ia mau karena tahu jika Ucup harus siang-malam menjaga ibunya yang sakit-sakitan. “Oke, cuman tinggalkan rokok 1 bungkus untukku!” Rokok diberikan, Broto berangkat ke gardu perlintasan.

Hari sudah petang, rokok tidak sia-sia dibawa, ia menemani seseorang dalam kesendirian. Broto coba menyalakan sebatang, angin tidak henti-hentinya bertiup kencang. Rokok gagal ia nikmati. Suara peringatan kereta akan melintas akhirnya mengalihkan perhatiannya. Seperti biasa Broto akan mengecek keadaan sekitar. “Palang pintu sudah tertutup, sudah aman,” kata Broto.

Mata Broto terbelalak, degup jantungnya kian kencang ketika ada seseorang menuntun becak melewati rel tanpa menghiraukan suara peringatan. Palang pintu perlintasan pun terlalu tinggi untuk orang itu. Riuh teriakan menyertai kejadian tersebut. Semua orang di sana berteriak. Mencoba mengingatkan lelaki yang seperti tanpa dosa nyelonong ke rel. Broto dengan sigap melompat dari jendela gardu hendak menyelamatkan lelaki itu. Waktu terus berjalan. Cahaya kereta mengganggu penglihatan Broto. Ia kalah cepat dengan kereta yang akhirnya menyambar seorang lelaki paruh baya tersebut. Broto berdiri kaku di samping kereta yang kemudian berhenti. 

*] M. Iqbal Maulana, lahir di Tuban. Mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya 

Cerpen ini pernah terbit di Lembar Budaya Jawa Pos Radar Bojonegoro Minggu 27 Agustus 2017

Diberdayakan oleh Blogger.