Beberapa muda-mudi sedang berkumpul di sebuah gubuk kecil. Salah
satunya adalah seorang perempuan berkacamata hampir minus lima. Kaca tersebut
tidak lama ini ia dapatkan dari Boponya.
Tidak salah jika teman- temannya memanggil ia si pecandu buku. Meski
sama-sama pegiat literasi namun hanya dirinya yang paling sering terlihat
bertatap muka dengan buku. Hingga terbitan luar negeri juga sering ia baca. Terakhir
dibacanya adalah karya “A Hunger Artist” milik Kafka yang ia dapatkan beberapa
hari yang lalu, yang mana tepat satu tahun setelah edisi bahasa Inggrisnya diterbitkan[1].
Salah satu sarana mempraktikan bahasa Inggrisnya yang ia dapat dari sekolah AMS (Algemeene Middlebare School) yang
kemudian diubah menjadi Sekolah Menengah Tinggi ketika Nipon menguasai tahun
1942. Boponya adalah
seorang bupati di pesisir utara Jawa Timur. Kebutuhan yang sulit didapatkan
pribumi mudah sekali ia punyai. Tak hanya buku-buku sastra, gincu dan peralatan
pemoles wajah hanya ia yang punya.
Dirinya lebih suka dipanggil Surti’ah, meski ia punya nama Belanda
yang sering digunakan jika ia dalam acara pesta makan malam bersama Bopo dan
teman-teman Belandanya.
Gubuk kecil itu sering kali membunyikan suara rapuhnya jika ada
beberapa orang yang bergerak di atasnya. Buruh tani desa tersebut membuatnya
sepuluh tahun silam untuk tempat beristirahat melepas penat, namun akhir-akhir
ini tiada petani singgah di situ. Semua buruh sudah dialihkan membangun waduk
yang akhir-akhir ini diketahui akan menjadi pemasok air berpajak tinggi untuk
beberapa desa dan perencanaan listrik demi kebutuhan pemerintahan Hindia
Belanda. Perihal darimana ia dapatkan informasi tersebut, ia sering mendengar
percakapan Boponya dengan teman Belanda yang lain.
“Ti’ah, apakah kamu tidak kena marah Bupati?”
“Kenapa?”
“Iya, perihal bersama kami?”
“Bukan apa-apa, hanya kalian yang bisa menerimaku, banyak sekali
yang memilih menekuk lutut. Sehingga bukan teman yang aku dapatkan. Hanya
sekat-sekat.”
“Apakah tidak cukup, Ti’ orang-orang ayahmu di ndalem?”
“Hanya orang bayaran, tidak ada ketulusan menemaniku. Aku lebih
suka bersama kalian, berdiskusi, membahas buku-buku ini.”
Rusman, salah satu anak dari buruh tani suruhan Bupati. Seumuran
dengan Surti’ah, hanya lebih tua satu bulan. Dirinya akan beranjak kepala dua
November nanti. Seringkali Rusman, menanyakan keanehan anak Bupati yang sering
meluangkan waktunya duduk bersama anak-anak pribumi.
Surti’ah menelan ludah. Hanya saja, ludahnya seperti menolak untuk
masuk melewati kerongkongannya yang kering. Rusman adalah sosok sebenarnya yang
menjadikan gadis peranakan Bupati ini mau bersenda gurau di antara petak-petak
lahan sawah, di atas gubuk reot.
Agaknya pemuda berperawakan kurus berhidung runcing ini membuat
Surti’ah melawan adat ndalemnya. Diawali ketika Sono, Bapak Rusman,
ingin bergabung menjadi buruh pembangunan waduk karena lahan sawah yang telah
digarapnya satu dasawarsa ini tiba-tiba terkena wabah aneh. Semua palawija yang
ditanam mendadak berubah warna menjadi hitam kehijau-hijauan.
Ditemani dengan Rusman, Sono memberanikan diri pergi ke rumah
Bupati. Surti’ah tidak sengaja melihat sosok Rusman yang sesekali menggunakan
bahasa Belanda saat membantu ayahnya bernegosiasi dengan Bupati agar ayahnya
bisa ikut berkerja di waduk tersebut. Sontak, Surti’ah terkagum-kagum karena
kala itu sangat jarang sekali ia melihat seorang pribumi seberani anak petani
tersebut. Menggunakan Belanda pula. Yang akhir-akhir ini ia baru tahu jika
Rusman belajar dari buku pelajaran bahasa yang ia curi dari sekolah Belanda.
Juga sering ia mengintip proses belajar mengajar di sana tanpa diketahui
siapapun. Hingga kini ia memberanikan diri mengajak beberapa anak pribumi yang
lain mengikuti jejaknya. Hak mendapat pendidikan yang tidak diberikan secara
bebas ini membuat dirinya melakukan hal seperti itu.
Surti’ah yang notabene hanya seorang perempuan peranakan Belanda
yang berkutat dengan buku di kamar, di ruang tengah, maupun di taman ndalem hingga
membuat beribu alasan agar dirinya diperbolehkan keluar dari dinding
keteraturan keluarga ndalem. Semua itu adalah cerita dua bulan lalu, hingga
ia bisa kenal dengan Rusman seperti sekarang ini dan bisa membuat gerakan
memperjuangkan pengetahuan lewat buku-buku. Khususnya kepada pribumi yang
banyak sekali brelum menyentuh bangku sekolahan.
Belanda Rusman yang cukup fasih bisalah menjadi alasan Bupati hingga
Sono diterima menjadi buruh waduk. Namun sebenarnya wabah aneh sawah yang
digarap Sono nyatanya adalah makar Boponya Surti’ah. Surti’ah tahu itu saat ia ketahuan
masih berkecimpung di dunia literasi desa bersama Rusman. Padahal sudah
berkali-kali anak Bupati tidak boleh bersama dengan pribumi. Hingga Surti’ah
mendengar penjelasan beberapa tindakan tak berkeperikemanusiaan yang pernah dilakukan
Boponya terhadap masyarakat desa. Tak lain untuk menyukseskan niatnya membangun
waduk namun masih kekurangan pekerja. Yang setelah dipikirkan olehnya, harus meratakan
sawah agar para petani pindah bekerja ke waduk dengan upah yang nyatanya tak
sebanding dengan pekerjaan.
“Matahari sudah hampir tenggelam!”
“Iya, Rus. Mungkinkah aku harus kembali sekarang? Buku ini belum
selesai.”
Beberapa buku memang diganti sampulnya oleh mereka. Supaya bisa
menyembunyikan identitas asli buku curian tersebut.
“Tegakah kau jika aku besok pagi buta dijemput paksa oleh suruhan
Bupati jika aku ketahuan bersamamu? Pulanglah!”
“Maaf masih banyak buku yang tersisa untuk dikerjakan. Akankah kamu
tidak tidur lagi malam ini?”
“Barang tentu sudah menjadi sesuatu yang wajar orang bawah bersusah
payah. Waktu tidur kiranya tidak sampai sepertiga malam.”
Rusman menceritakan jika ia tigaharian ini tidak sempat terlelap. Ibunya
membangunkan ketika matanya baru setengah menit terpejam. Tidak menolak ataupun
pasrah mengiyakan. Pekerjaan kesehariannya memang membantu Ibunya mencari
kerang. Ia lakoni dengan pergi ke pantai yang kira-kira ia bisa tempuh saat
Duhur tiba dengan berjalan kaki. Itu pun jika ia berangkat setelah bapaknya Sono
turun dari mimbar satu-satunya Masjid di desanya, tepat selepas berkhutbah Subuh.
Setelah percakapan tersebut. Lima muda-mudi di gubuk reot itu
kembali ke rumah masing-masing. Lima tersebut, selain Surti’ah dan Rusman,
adalah 2 pemuda dan satu gadis yang sama-sama pribumi.
***
Ingatan gadis peranakan Belanda ini tetap sama, tak bisa lepas
setiap malamnya dari anak petani Sono. Agaknya sama dengan keadaan sono yang
masih tetap sama, beberapa teman kerja Sono sudah menjadi mandor pembangunan
waduk yang sudah berjalan sembilan bulan terhitung dari ia masuk. Namun tetap
saja Sono menjadi buruh kasar waduk. Sono orang yang taat beragama, dia akan
berhenti bekerja ketika waktu sholat tiba. Tampaknya hal itu tidak disukai
rekan kerjanya. Rekan kerjanya sering menggunjing, melaporkan kepada pengawas
tentang hal yang tidak-tidak saat Sono berhenti berkerja untuk sholat. Mereka
iri dengan Sono yang kerjanya bagus sampai berbagai akal busuk dilakukan supaya
Sono tidak bisa naik menjadi mandor. Syukur-syukur bisa dikeluarkan, harap
mereka.
Sono tidak berhasil dikeluarkan, namun ia tidak naik jabatan. Ia
tetap mengangkati batu-batu dari bawah ke tanggul bagian atas. Hal itu masih
tetap ia lakukan mulai dulu ketika pembangunan sisi tanggul bagian timur hingga
kini sudah sampai barat. Nasib keluarganya malah semakin tidak menentu. Terkadang
makan satu kali terkadang hanya minum air. Beda ketika masih menjadi petani.
Mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehari makan minimal dua kali. Meski
bukan lahannya. Tuan tanahnya adalah Belanda yang baik. Beda dengan Bupati.
Hingga dalam suatu siang gadis peranakan Belanda, Surti’ah,
mempunyai kesempatan untuk ikut Rusman pergi ke bibir pantai mencari kerang.
Terpikirkan untuk memberanikan diri mengatakan sebuah perasaan yang
menggebu-gebu yang pemudi seumurannya bisa rasakan, yaitu sekelumit sebab yang
sering membuat kering kerongkongannya ketika bertuturkata. Tidak hanya mereka
di sana, di sekitarnya berlarian tiga anak kecil berebut satu kelapa muda. Di
bawah pohon kelapa yang tinggal satu buahnya mereka duduk berdua.
Rusman memulai percakapan,
“Ti’, mungkin kesempatan kita bertemu dalam perjuangan gerakan
literasi desa akan berkurang.”
“Kenapa? Kamu mau pindah desa? Hanya kamu yang bisa menggerakan
anak-anak di sini supaya semangat, bukan hanya anak-anak sebenarnya begitu juga
…a...” Seperti tersedak, gadis berkulit putih, bergigi gingsul ini berpura-pura
batuk tidak meneruskan kata-katanya.
Lalu dia meneruskan,
“Iya, kenapa?” Percakapan keduannya semakin mendalam.
“Setelah wabah menyerang sawah yang digarap Bapakku, kini kebutuhan
keluargaku semakin tidak terpenuhi. Aku
laki-laki, Ti’. Di umur 20 tahunku ini sudah waktuku bertanggung jawab menjadi
tulang punggung keluargaku. Dua adik perempuanku. Ibuku. Ayahku yang semakin
tua dengan penghasilan yang…”
Surti’ah menyelak,
“Apa niatanmu, Rus? Akankah kau meninggalkan desa ini? Desa yang
membesarkanmu?”
“Aku hanya ingin berlayar, Ti’, merantau ke seberang sana. Mungkin
saja ada tuan tanah yang berbaik hati menerimaku, hanya itu, Ti’, yang bisa
diharapkan oleh darah pribumi. Meringankan beban keluarga. Pulang menjadi orang
yang punya. Mengangkat derajat masyarakat pribumi itu juga tujuannya.”
“Seperti itu keinginanmu? Kamu tidak memikirkan nasib anggota
gerakan kita.”
Surti’ah mencoba mencari alasan lain supaya Rusman mengurungkan
niatnya merantau.
Rusman hanya menatap gelombang ombak yang semakin mendekati pohon
kelapa yang mereka gunakan berteduh.
Tiba-tiba Surti’ah sedikit ragu-ragu berkata,
“Ini memang salah keluargaku, aku hanya tidak berani tegas dengan keparat
Bopoku!”
“Maksutmu?”
“Iya, terkait dengan wabah itu! Bopo hanya ingin nafsunya terpenuhi,
waduknya cepat selesai, dia lakukan segala cara, salah satunya……” Mulai ragu
meneruskan.
“Apa, Ti’? Mempertegas.
“Me…Me….ngirim wabah kesawah-sawah supaya petani beralih
pekerjaan.”
Ombak yang tadi mulai mendekati kaki Rusman kini seakan menjauh dan
semakin jauh. Ombak itu enggan lagi mendekat. Tiga anak kecil yang berebut
kelapa muda tadi sudah pergi entah kemana. Menghilang.
Rusman berdiri secara tiba-tiba dan berkata, “Memang, betul kata
Bapak. Pribumi hanya menjadi alat. Dengan mudah dipermainkan. Meski, kamu di
antara kami, darahmu tetaplah sama darah mereka!”
“Tetapi…”
“Aku… menyukaimu, Rusman!”
“Rus, kau salah satu pribumi yang berbeda, cara memimpinmu, caramu
memperlakukan sesamamu. Caramu memperlakukanku.”
“Sudahlah, apa yang kamu katakan tak mengubah keadaan keluargaku.
Aku pribumi dan kau...” Selak Rusman.
Rusman berjalan menjauh dari pesisir pantai, menuju pemukimannya. Peranakan
Belanda kaku tak bergerak sedikitpun.
Surabaya, 2
Desember 2016
Mohammad Iqbal
Pegiat literasi di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas
Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya
Prodi Sastra Inggris