Selasa, 26 Juli 2016

Kilas Balik MTs. Islamiyah Banat Sunnatunnur Senori Tuban

Dokumen MTs. Banin tahun 2007 (Kegiatan belajar mengajar satu gedung, Banin Siang, Banat sore)
Tulisan ini dibuat diakhir semester tiga ku kemarin, sekitar bulan Desember 2015. Ceritanya nih aku lagi pulang kampung, tapi belum pulang yang sebenarnya, hehe soalnya aku harus balik lagi ke tanah rantauku, Surabaya. Jadi aku waktu itu hanya pulang tiga hari saja. Aku lupa, ada urusan apa balik ke Surabaya. Kalau tidak salah sih masih ada persiapan agenda Sosialisasi Kampus. Waktu itu kebetulan saya Ketua Panitianya. Eh weladalah. Melebar ceritanya. :D

Saat itu nenek nyamperin dan bilang kalau Yayasan Sunnatunnur lagi melakukan rekap data. Nenekku salah satu orang yang bisa dikatakan sepuh (Jawa: tua) di sana dan secara langsung juga ikut membantu merintis MTs. Islamiyah Banat di Yayasan itu. So, beliau bertanggung jawab untuk menceritakan. Bagaimana sih asal muasal berdirinya sekolah tersebut. 

Check this out_______


Sejarah Dirintisnya MTs. Islamiyah Banat

Pada awal dekade 1960-an salah seorang putri dari pasangan KH. Masyhuri dan Hj. St. Aminah yang bernama Rufiati kembali ke tanah kelahirannya yaitu Senori Tuban setelah beberapa tahun melewati proses menuntut ilmu di Solo Jawa Tengah. Putri ke-4 dari 13 bersaudara ini merasa iba terhadapan kondisi pendidikan dikala itu. Banyak anak-anak perempuan yang menganggur dan tidak melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) karena memang saat itu belum ada sekolah lanjutan untuk perempuan seperti jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Senori, yang ada hanya Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Banin yang berarti hanya untuk laki-laki.
Perasaan iba terhadap anak-anak perempuan yang dirasakan Istri dari H. Masyhudi saat itu melatar belakangi dirintisnya jenjang lanjutan pasca sekolah MI. Awal mula sekolah itu dibuka, anak-anak masih belum mau masuk dan melanjutkan sekolah, mereka malu karena merasa sudah besar.
            Di sisi lain, Ibu Mukarromah kakak kandung Ibu Rufiati Istri K. Chudlori mempunyai ide setelah melihat banyak anak yang masih malu untuk sekolah. Ide beliau adalah ikut berangkat sekolah meski sudah mempunyai anak, bahkan beliau sambil menggendong anaknya di sekolah. Pada akhirnya, aksi beliau ini dapat menarik minat anak-anak perempuan untuk tidak malu melanjutkan sekolah.
Selang beberapa waktu kemudian setelah banyak lulusan MI yang meneruskan sekolah, Ibu Rufiati berinisiatif memberi nama sekolah lanjutan tersebut. Beliau mengajak ayahandanya KH. Masyhuri, mbah Muslimah Istri dari K. Nur Salim, K. Chudlori, dan K. Nur Syahid untuk bermusyawarah membahas nama sekaligus membentuk struktur kepemimpinan sekolah tersebut.
Ibu Rufiati mengajukan sebuah nama untuk sekolah lanjutan tersebut dalam musyawarah yang telah diadakan. Beliau mengajukan nama Mualimat yang mana diambil dari nama sekolah yang pernah ditempuhnya sekitar 4 tahun di Solo dan akhirnya nama Mualimat ini diterima oleh semua anggota musyawaroh. Kurikulum Mualimat pun sama dengan kurikulum sekolah yang pernah ditempuh Ibu Rufiati saat di Solo. Selain itu, dalam musyawarah ini diputuskan juga struktur kepemimpinan Mualimat. Struktur kepemimpinannya adalah Penasehat : KH. Masyhuri, Kepala Sekolah : K. Chudlori, Sekretaris : Mukarromah, dan Bendahara : Muslimah. Adapun dewan gurunya adalah KH. Masyhuri mengajar mata pelajaran (mapel) Fiqih, Hadis, tafsir dan tauhid; K. Chudlori mengajar mapel Nahwu, Shorof; dan Ta’lim; K. Nur Syahid Mengajar Qowaidul Lughoh; Badrus Salam mengajar mapel Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia; dan Ibu Rufiati sendiri mengajar mapel Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi, Didaktik dan Metodik. Selain itu, lulusan Mualimat diakui untuk mengajar jenjang Madrasah Ibtidaiyah di lingkup Madrasah Islamiyah Senori.
Problem pada saat itu adalah belum ada satupun gedung untuk kelas dan sepeserpun dana yang dipunyai Mualimat. Bahkan guru yang mengajar di sana tidak mendapat bisyaroh. Akhirnya, rumah K. Nur Salim dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan untuk permasalah dana Ibu Rufiati dan mbah Muslimah memutuskan untuk berjalan-jalan dari Senori sampai ke Leran yang tak lain dan tak bukan adalah untuk meminta sumbangan dari warga. Sumbangan se-ikhlasnya dari warga kala itu berupa beras, terkadang mendapat 1 Tompo (1,5 Kilogram) dan jika beruntung bisa sampai mendapat 3 Tompo (3 Kilogram), bahkan sesekali pernah tidak mendapatkan beras.
Setelah K. Chudlori yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Mualimat wafat, kepemimpinan diteruskan oleh KH. Moch. Muhjiddin Munawar (mbah mad), setelah itu diganti Bapak Abdul Rosyad, B. A. Dilanjutkan lagi oleh Bapak Wahab.
Perjalanan Madrasah Mualimat berlangsung lama sampai sekitar 36 tahun, ditahun 1997 muncul inisiatif dari Pengurus Madrasah Islamiyah untuk mempersatukan seluruh madrasah di dalam Madrasah Islamiyah dengan nama Yayasan Sunnatunnur dengan alasan agar mudah terkoordinasi antar Madrasah. Perubahan ini juga berpengaruh terhadap Madrasah Mualimat, nama Mualimat diganti dengan Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Banat.



______
Narasumber tulisan ini adalah nenekku sendiri, Hj. Rufiati binti KH. Masyhuri.
Saya juga alumni MTs. Islamiyah Banin (cowok) lulus tahun 2011


Selasa, 19 Juli 2016

Perjuangan Jomblo tapi Toleran

   
Foto dari alienco.net

      Dalam dunia hewan ada yang namanya musim kawin, kalau di dunia manusia ada yang namanya bulan Syawal. Benar sekali, pada bulan ini terop-terop didirikan. Kabar nikah terdengar. Undangan tersebar di mana-mana. Karena katanya bulan ini adalah bulan penuh berkah (untuk kawin) dan bulan yang sangat tepat untuk menunjukan jati diri seorang jomblo, yang mana Jomblo tapi Toleran.

“Dia nikah loh
Dia sudah punya momongan loh
Dia sudah nggendong anaknya mantan loh!” *Krik
      
      Seperti yang sudah pernah saya posting di Instagram kemarin, saya mendapat beberapa undangan menghadiri mantenan, disusul dengan beberapa kabar saya terima akan ada kawan yang nikah. Sebagai seorang yang jomblo flamboyan, ehm maaf Gus Mul saya tidak hendak meniru istilah sampean loh, saya cukup toleran menghadapi keadaan ini. Flamboyan di sini adalah seorang yang menempatkan diri sebagai obyek dalam hal asmara. Dan sampai saat ini masih menunggu. muni ae jomblo rapayu jon.

      Bentuk toleransi tersebut saya buktikan dengan tidak menganggu ritual pernikahan kawan-kawan saya. Seperti mendoakan agar hujan turun layaknya adat klasik para jomblo-jomblo saat malam Minggu hingga dengan merubuhkan terop seperti di gambar meme yang tersebar. Terlalu ekstrim jika saya lakukan hal itu. Toh jikalau sampai berurusan dengan pak pulisi, saya bisa mendapat catatan merah. Pupus sudah harapan mulia saya jadi PNS.

      Terkadang saya harusnya berterimakasih kepada kawan saya yang hanya memberi kabar pernikahannya tanpa memberi sepucuk surat undangan. Iya, Tidak ada kewajiban hadir dan ehm ngamplopi. Cukup doa beserta kata-kata samawa yang dikirimkan lewat sosial media. Bukan bermaksud menjadi sangat perhitungan, toh mata pelajaran hitung-hitungan saya warnanya oranye yang artinya hampir merah. Tapi coba kita cermati lagi, kabarnya kawan saya yang nikah jumlahnya ada tiga bahkan lebih. Itu belum yang saya dapat undangan. Belum lagi sakitnya ditinggal kawan nikah yang rasanya seperti saat Rossi diselip Marquez. Masalahnya bayaran seorang layouter lepas yang tanpa penyemangat pun tidak cukup untuk mengamplopi para anak adam dan hawa yang akan mengarungi bahtera rumah tangga ini. Apalagi kemarin habis mundur dari salah satu penerbit gara-gara pihaknya sudah tidak mengambil pekerja lepas. Ngenes.
     
      Dalam toleransi ini saya tidak berharap timbal balik. Saya juga  enggak bilang ikhlas, karena surat Al-ikhlas tidak ada kata ikhlasnya. Tetapi setidaknya apakah sampean-sampean mboten pengertian kepada koloni-koloni yang rapuh ini? Meski Jomblo yang Toleran kiranya tidak akan sepadan dengan Jomblo tapi Hafal Pancasila.

______
Mohammad Iqbal mengucapkan Semoga Sakinah Mawadah Warrohmah kawan-kawanku yang akan lebih dulu mengarungi bahtera rumah tangga. Pesenku nek ono amplop seng jenengku, ojo bukak neng jobo. Saru.
"Kalau ada amplop yang ada nama saya, jangan dibuka di luar. Tabu."



Surat Terbuka untuk Satpam UINSA


             Salam hormat Pak Satpam yang keren. Mengalahkan aktor Vino Bastian pemeran Kasino di Film Warkop Dki Reborn yang akan rilis bulan September nanti.

Mungkin Pak Satpam belum mengenal saya, perkenalkan saya adalah mahasiswa serabutan. Bukan siapa-siapa kok, Pak. Sehingga ketika saya keluar kampus menggunakan sepeda motor, bapak harus tetap mengecek STNK saya.

Oh iya, di kampus ini, saya juga pernah keluar-masuk kampus tanpa STNK. Bukan bermaksud sok mengekslusifkan diri, pak. Bukan juga bermaksud melanggar aturan. Tetapi memang STNK saya kemarin sedang mencari jati dirinya (baca; hilang). Jadi saya menggunakan surat keterangan kehilangan dari Polsek setempat. Tapi lupakan, itu sudah lama, bulan April kemarin, Pak.

Pak Satpam yang terkadang saya pernah terharu ketika melihat Bapak sedang duduk beristirahat dengan topi menutup muka. Bapak pernah tahu tidak jumlah mahasiswa  yang keluar masuk kampus setiap harinya? Bukan saya berniat memberi tebakan (pertanyaan) yang  garing. Memang bukan tugas bapak juga untuk mendata jumlah mahasiswa. Tapi apakah bapak tidak capek dan bosan?

Bapak setiap pagi, dari waktu dedek-dedek gemez berangkat menghadiri kelas intensif bahasa, hingga jam petang ditutupnya gerbang (meski gerbang tidak pernah ditutup) bapak selalu stay di jalan arus keluar-masuk kampus. Meski terkadang bapak memindah-mindah letak tenda arus keluar kampus, tempat pengecekan STNK. Ketika pagi hari di gerbang depan Sport Center. Ketika sore arus keluarnya di gerbang utama. Mungkinkah hal itu untuk menghilangkan rasa bosan bapak yang kerjanya selalu ngecek STNK para sivitas akademisi UINSA, Pak?

Pak Satpam yang saya hormati, sering bukan lihat dedek-dedek gemez yang sedang foto unyu di depan Twin Tower? Tau tidak alasannya, kenapa suka sekali mereka foto di sana? Bukan hanya karena gedung ini baru, menurut perpektif saya karena gedung ini juga unik, makanya rame dibuat foto-foto, Pak. Kalau kata Manajer Proyek Pembangunan Kampus, gedung ini ornamennya beda sama kampus-kampus lain. Campuran antara ornamen khas dunia belahan timur sampai Jawa Timuran. Bapak manajernya itu kalau saya tidak salah ingat Zaini namanya. Mungkin bapak kenal atau pernah disapa saat keluar kampus UINSA. Iya sembari mengecek STNK mahasiswa, Bapak menjawab sapaan beliau. Dan dengan santai beliau lewat.

Sebenarnya saya tidak akan membahas itu secara panjang lebar. Selanjutnya saya akan membahas tentang kamera pak. Kamera sekarang itu banyak modelnya, yang pasti semakin canggih dan bikin wajah yang difoto menjadi berbeda sekian derajat cakepnya. Jadi apa hubungannya dengan Bapak? Iya ada, Pak.
Bapak mungkin jangan sekali-kali lagi meminjamkan kamera Bapak untuk dedek-dedek gemez yang mau berfoto ria.

"Loh, kapan? Saya tidak pernah, mereka sudah punya kamera sendiri."

Pasti Bapak dengan lantang layaknya seorang satpam akan menjawab seperti itu, santai pak saya hanya memberi saran.

Bukan bermaksud menuduh yang tidak-tidak pak. Tetapi saya sering lihat kabel kamera CCTV Anda kok tidak tersambung dengan semestinya? Apakah mungkin habis dibawa dedek-dedek gemez karena fotonya kurang bagus sehingga pinjam kamera Bapak? Terus Bapak lupa mencolokkan lagi ke sambungan yang semestinya? Benarkah begitu itu?

Kalau Bapak memang memiliki alasan karena ingin berbaik hati kepada mahasiswa, tidak apa-apa sih. Tetapi jangan lupa mencolokan kembali seperti sediakala, Pak. Kan itu hak para pengendara yang lewat situ pak. Selain dicek STNK-nya. Pengendara juga berhak mendapatkan dokumentasi dari kamera CCTV Bapak. Anda sendiri juga kan yang memberi tulisan semacam "Area CCTV, tolong buka Helm, Slayer..." Itu artinya kami sebagai pengendara dipersilakan atau diharuskan dijepret kamera CCTV sebelum lolos keluar? Bukan begitu, Pak? Kalau CCTV hanya ada dengan kabel tidak terpasang dengan semestinya terus kegunaannya apa ya, Pak?

Bukannya membanding-bandingkan, saya mau sedikit cerita, Pak. Diawal Desember 2015 lalu organisasi saya mengadakan acara Seminar Nasional, berhubung acaranya lumayan besar sampai mendatangkan anaknya Amin Rais yang penulis itu loh, sehingga saya pada saat itu ditugaskan untuk membantu mengirim surat undangan ke saudara-saudara Pers Mahasiswa Se-Surabaya. Singkat cerita saya sampai di Kampus A (maaf saya tidak sebutkan namanya). Di arus masuk kampus tersebut saya tidak disambut oleh Pak Satpam yang menjaga. Para satpam hanya memantau dari posnya yang tidak jauh. Saya di jalur masuk hanya dihadapkan dengan mesin tiket otomatis dengan dilengkapi dengan CCTV. Sebelum saya bisa masuk, saya harus memencet tombol agar palang masuk terbuka dan saya bisa mengambil tiketnya. Selain tombol masuk di sana ada sensor Kartu Tanda Mahasiswa. Mungkin, mahasiswa di sana bisa masuk tanpa tiket. Sehingga mereka hanya menyodorkan Kartu mereka dan masuk seperti saya setelah mendapat tiket. Tapi sayangnya saya mendapatkan sedikit problem. Tiket saya tidak keluar tapi palang mempersilakan saya masuk. Untuk kasus ini saya jelaskan nanti. Saya kemudian memarkiran sepeda motor di kampus yang berlabel swasta ini.

Setelah saya masuk, saya menyelesaikan urusan saya. Menemui orang yang terkait. Memberikan surat undangan dan beberapa penjelasan singkat. Kemudian saya berniat pulang. Ternyata tidak seperti ketika masuk tadi. Ketika keluar saya dimintai tiket oleh satpam. Saya kemudian menjelaskan jikalau tiket saya tidak keluar dari mesinnya tadi. Kemudian Pak Satpam mengecek komputernya. Sebelumnya dilihat plat saya dan ditanya sudah berapa lama saya masuk.  kemudian dicocokan dengan rekaman CCTV yang sudah tersimpan otomatis. Iya, terbukti kalau tiket saya tidak keluar. Kemudian pak satpam lain mengecek mesin tiketnya. Kemudian entah diapakan, tiket saya berhasil keluar. Singkat cerita saya akhirnya bisa kembali melanjutkan pengiriman surat undangan ke kampus lain.

Begini loh Pak Satpam UINSA, apakah Anda tidak ingin menggunakan sistem yang lebih efektif dan lebih fair(ehm). Seperti di atas mungkin. Okelah, contoh di atas mungkin memang terdapat problem, yang intinya harus ada pengecekan rutin untuk mesin otomatisnya. Tetapi intinya Anda tidak capek-capek mengecek STNK, dan mahasiswa tidak usah lupa untuk membawa STNK sehingga tidak bisa keluar kampus. Atau yang lebih ekstrim STNK sampai hilang. Ingat, Pak. Rumah kami ada yang jauh ada yang dekat. Kami terkadang tidak bisa mengambilnya di rumah. Meminta surat keterangan di fakultas? Kami pulang jam 4 ketika pihak Dekanat sudah pulang. Kami juga bukan para petinggi kampus yang bisa langsung lewat. Jadi mungkin bisa Pak Satpam mengusulkan ke atasan Bapak untuk keluar masuk kendaraan menggunakan sistem tiket dan kamera CCTV yang memang "benar-benar" mekan(baca; nyala), Pak. Fair kan.

Hanya sekadar saran, Pak. Intinya bapak yang lebih berpengalaman tentang keamanan. Silakan disesuaikan dan se-World Class mungkin. Se-fair mungkin. Se-aman mungkin. Menuju World Class University (WCU) harus diawali dengan hal-hal sepele kan, Pak? Tetapi apakah masalah keamanan se-sepele itu? Tidak. Meski ada beberapa mahasiswa prodi saya masih belum mengerti tentang WCU, dan saya masih belum mengerti secara mendalam tentang konsepannya meski sudah baca buku UINSA EMAS, namun saya sebagai mahasiswa UINSA mendukung penuh untuk itu, Pak.

Best regard.


 _____________

Tulisan ini dibuat tidak untuk memperburuk keadaan pun bukan untuk menyudutkan berbagai pihak. Hanya untuk saling mengingatkan. Karena Salah dan Lupa adalah milik kita dan kebenaran hanya milik penguasa, loh. 


butuh sumber? source: http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/265266/resmikan_twins_tower_rp_375_m,_calon_mahasiswa_uinsa_bertambah.html


Diberdayakan oleh Blogger.