Sabtu, 25 Juni 2016

Sayap-sayap Kipas dan Problema Kehidupan

Ada satu kipas angin di rumah saya. Bermodel duduk sehingga terkadang butuh kursi jika menginginkan kipas ini menjangkau titik-titik tertentu. Layaknya kipas yang ada di rumah-rumah, kipas ini mempunyai beberapa pilihan kecepatan. Satu, dua, dan tiga. Kecepatan berputarnya akan meningkat mengikuti urutan angkanya yang kita bisa pilih. Tentunya, hawa dingin yang akan tercipta juga sesuai dengan tingkat kecepatan yang kita tentukan.
Namun berbeda dengan kipas kesayangan saya ini, diangka berapapun kecepatannya, hawa dinginnya akan sama. Iya, sama atau bisa dikatakan beda, sangat sedikit sekali. Tetapi kecepatan muternya tetap. Kenceng sesuai angkanya. Saya sempat berpikir macam-macam. Apakah ini efek dari climate change? Ah terlalu jauh. Tetapi rasa skeptis saya muncul. Kemudian saya mematikan lalu memerhatikan kipasnya. Beberapa detik kemudian. Saya mendapatkan sebuah keganjilan. Ternyata kipas saya punya keunikan. Dia berbeda dengan kipas normal yang lain. Sayap kipas di dalamnya, yang berotasi, jumlahnya sudah tidak genap seperti sediakala. Ada sekitar dua sayap yang seperti terpotong. (Dua detik kemudian). Saya akhirnya ingat dengan sesuatu. Kipas ini adalah korban kenakalan saya. Dulu waktu MI kelas 6 (mungkin) pernah saya memasukan obeng (sumpah tidak sengaja) melalui celah-celah samping kipas. Hal itu akan biasa saja jika waktu itu kipas tidak berputar. Sayangnya pada saat itu, kipas diatur agar berputar dengan kencang karena cuaca kemarau membuat suhu rumah panas. Alhasil, bisa ditebak. Ssayap kipas patah. Saat itu hanya satu sayap. Sehingga ketika dinyalakan, kipas menjadi tidak stabil .Kipas menjadi "gedek-gedek". Sehingga ayah saya mempunyai ide untuk memotong satu sayap kipas lagi. Dengan itu kipas menjadi normal kembali. Normal berputar. Tetapi tidak dapat melakukan tujuan sebenarnya dengan baik. Jika direfleksikan ke dalam kehidupan. Sayap-sayap kipas yang tersusun ibarat sekelompok orang dengan tujuan yang sama. Dan menamai dirinya atas tujuan itu. Sehingga anggotanya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Ketika muncul sebuah masalah seperti kasus obeng tadi yang mengakibatkan terlepasnya salah satu anggota maka akan membuat sekelompok tersebut menjadi tidak stabil. Seperti kipas. Sehingga dalam kasus kipas kita harus cari akal bagaimana cara menstabilkan. Yaitu dengan memotong bagian sayap yang lain.
Tetapi apakah di dalam lingkup sekelompok orang tadi kita juga akan melepas anggota yang lain? Tidak. Bukan itu. Hanya ada satu kesamaan. Ketidakstabilan. Tapi berbeda dengan solving-nya. Dalam kasus ini kita harus memperkuat lagi. Memperkuat sayap-sayap yang lain. Sehingga jika ada sayap yang hilang jangan sampai sayap yang lain juga ikut terbang. Cukup satu atau tidak sama sekali. Jangan terulang lagi nanti. Masih ada kesempatan sayap yang patah untuk kembali. Meski butuh lem penguat yang mengakibatkan wujudnya berbeda dengan sayap yang lain. Tetapi apalah arti perbedaan jika substansinya lebih sangat ternilai harganya. Dan hawa dingin kipas akan tercipta. Sesuai dengan angka percepatan yang tertera. Dan tugas yang sebenarnya akan terlaksana.
_____________________ Tuban, 25 Juni 2016 2:20 am

Minggu, 19 Juni 2016

Fenomena Twin Tower UINSA: Ocehan dari Mahasiswa Pinggiran

Foto terpilih dari salah satu peserta Diklat Fotografi LPM Solidaritas diakhir Mei 2016
Mungkin ada yang belum sadar jika Twin Tower UINSA yang biasa digunakan oleh dedek-dedek gemes jadi latar selfie adalah proyek pembangunan yang didanai dengan pinjaman dari IDB dengan sejumlah dana hingga Rp 929 miliar. Cukup mahal jika dibandingkan dengan harga nasi bungkus "Mak Dangak"(Sebutan yang diberikan oleh pelanggan untuk warung yang terletak di balik Gedung Adab B UINSA, karena jika akan membeli makanan di sana harus dangak alias mendongakkan kepala ke atas sebab warungnya ada di atas pagar pembatas belakang UINSA). Oh, iya. Saya di sini tidak untuk menyoroti fenomena si eMak sebab bulan Ramadhan ini warung tersebut sementara tutup, yang pasti bukan karena razia satuan keamanan setempat, jadi kapan-kapan saja kalau sudah buka kita bahas ini. Dengan dana yang digelontorkan hingga sebesar “m” yang juga silihan (pinjaman), simbol menara kembar dibangun menghiasi wajah baru IAIN yang sudah menjadi UIN. Simbol ini tidak hadir hanya untuk menjadi tempat selfie yang keren semata, ada suatu hal yang sedang dikomunikasikan oleh para intelektual UINSA tentang konsep integrated twin towers. Dalam kajian bahasa yang tidak sengaja saya dalami diperkuliahan, ada seorang filsuf bernama Ferdinand De Saussure pencetus Sign Theory.
Dalam teori Saussure ini kajian tentang tanda atau semiotik dibagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika si Saussure adalah relasi antara penanda dan pertanda berdasarkan konvensi atau kesepakatan, biasanya disebut dengan signifikasi. Perumpamaan simbol integrated twin towers bisa disebut sebagai signifier atas konsep pendidikan tinggi yang ada di UINSA. Konsep integrasi yang mana diinterprestasikan dengan menara kembar yang tersambung ini menjadi simbol terkomunikasikannya ilmu umum dengan ilmu agama. Konsep islamisasi ilmu yang tidak diterima oleh intelektual UINSA pada tahun 2008-2012 tidak diperlukan sehingga keilmuan agama dan umum dibiarkan berjalan di relnya masing-masing yang penting pada intinya keilmuan tersebut harus dikomunikasikan. Penjelasan tersebut dibahas dalam buku karya mantan Rektor UINSA, Prof. Nur Syam asal Tuban, Menegaskan Kembali Integrative Twin Tower.

Tetapi ketika akan menghubungkan signifier (Twin Tower) pesan dari intelektual UINSA dan signified (pertanda atau makna) yang akan dimaknai oleh khalayak umum beda dengan signifikasi yang mana konvensional atau membutuhkan kesepakatan umum.
Dalam kasus ini pemberi tanda harus memberikan penjelasan yang logis tentang penandanya. Dilihat dari sisi pemberi tanda, konsep integrasi sendiri sepertinya kurang maksimal dijelaskan, banyak dedek-dedek gemes dengan jilbab yang kini diperbarui namanya menjadi jilbob yang mengambil foto bahkan sampai demo di depan gedung lantai 9 tersebut yang hanya mengambil unsur eksistensi sementara semata. Selain kurang maksimal dijelaskan mengenai tanda tersebut, sebagai salah satu anggota struktural formal pemberi tanda yang juga mempunyai slogan “Building Character Qualities: For the Smart, Pious, and Honorable Nation”, harusnya juga bersikap sesuai dengan isi slogan, sehingga dalam proses pembangunan kualitas karakter juga harus mencontohkan hal yang bisa dikatakan baik, seperti tepat waktu memberikan buku MKD (Mata Kuliah Dasar) penunjang keilmuan mahasiswa dan simbolis almamater berupa jas almamater. Proses pengenalan tanda tersebut dilancarkan juga melalui pembagian buku pengembangan akademik yang berisi lumayan tentang seluk beluk UINSA saat ospek yang biasa dikenal dengan OSCAAR (Orientasi Cinta Akademik dan Almamater). Tetapi dedek-dedek gemes sepertinya jadi salah fokus karena saat ospek panitia malah lebih menonjolkan apa yang tak harus ditonjolkan, loh. Seperti halnya, kasus yang terjadi saat ospek tahun lalu, panitia ospek yang membimbing dedek-dedek gemes malah terlihat tidak menonjolkan tentang seluk beluk akademik dan almamater kampus, malahan menonjolkan hal-hal lain yang saya rasa bukan milik kampus yang sekaan memiliki kampus. Mungkin bukan salah panitia secara keseluruhan, juga bukan salah struktural intelek UINSA tapi saya lah yang salah menuliskan ini.
Kasus demonstrasi di depan Monumen Integrasi Keilmuan yang beberapa media kampus katakan terdiri dari angkatan 2015 ini menamai dirinya sebagai Aliansi 15. Aksi ini membuahkan hasil yaitu realisasi oleh pihak yang bertanggung jawab untuk mempercepat penyelesaian Almamater tanggal 1 Juni 2016. Saya sempat terpukau dengan para adek-adek 15 yang semangat menggemborkan hak-hak yang belum terpenuhi, bahkan mahasiswa yang demo hingga ratusan. Keren. Tetapi lagi-lagi saya sempat juga heran, kok jarang atau tidak pernah di sini mahasiswa demo gara-gara dosen jarang masuk kelas, dosen hanya formallitas mengajar, atau dosen menagajar mata kuliah yang tidak dalam kompetensinya. Mungkin saja kejadian tersebut tidak ada di UINSA? Ataupun ada tetapi jarang, atau ada tetapi dianggap tidak ada, loh.

*Ditulis di Sekretariat Lpm Solidaritas UINSA 18 Juni 2016

Rabu, 15 Juni 2016

Sebuah Memori yang Ditemukan Kembali - Jurnalistik

Di suatu waktu, saat aku masih sekolah di MI Sunnatunnur Senori, ternyata pernahku mengikuti kegiatan jurnalistik. Kegiatan itu diadakan oleh LAPIS, salah satu program pengembangan dari Australia untuk sekolah-sekolah yang berbasis agama Islam di daerah pelosok. Menjelang acara itu, untuk menjaring peserta, panitia menyeleksi calon delegasi tingkat sekolahan masing-masing. Kalau tidak salah ingat, aku beserta kawan-kawan pada saat itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Ruangan yang pada saat aku masih duduk di bangku MTs. pernah menjadi Laboratorium Bahasa Sunnatunnur itu dipenuhi anak-anak yang riuhnya bisa dibayangkan sendiri. Maklum, seumuran itu adalah waktunya anak-anak dalam fase pencilak-an nya. Selang beberapa menit, panitia mengintruksikan untuk menggambar sebuah sekolah. Bukan hanya sekolah seperti biasanya, yang ada halaman untuk upacara, beberapa kamar mandi, dan ruang-ruang kelas untuk belajar. Tetapi mereka memberi sebuah acuan tema yaitu tentang "Sekolah Idaman". Sempat aku bingung. Tengok kanan. Tengok kiri. Tanya teman. Tetapi mereka sepertinya malah acuh dengan sebuah tema. Bahkan ada juga yang menggambar seekor Rakun (Oh iya, temanku yang menggambar Rakun ini dengar-dengar sekarang sudah menjadi teknisi di sebuah service center motor di Jakarta). Terlalu kreatif memang. Parahnya aku juga tidak terpikirkan untuk bertanya kepada panitia terkait penjelasan lebih lanjut. Sialnya juga mereka memberi hitungan mundur. Aku mulai untuk mencoretkan pensil warna yang ku miliki. Beberapa menit kemudian coretan pensil warna ku yang sudah tak lengkap jenis warnanya ini sudah selesai. Semua peserta tidak kembali ke kelas melainkan tetap di sana. Gaduh sekali. Salah seorang dari panitia masuk ke dalam ruangan. Sedikit gugup aku menanti sesuatu yang akan diumumkan panitia. "Silahkan yang bernama Bambang ikut saya". Wah ternyata si Bambang, adik kelasku, terpilih karyanya. Sorak teman-teman semakin riuh. "Oh iya, sama M.Iqbal juga!" Tambah panita setelah sempat sedikit berdiskusi dengan panitia lain. Seperti naik motor berkecepatan tinggi (padahal pada saat itu belum bisa naik motor), adrenalinku terpacu. Aku dengan kawanku tadi digiring ke ruang Perpustakaan MA pada saat itu (yang pernah menjadi ruang MA IPS Putra pada tahun 2010-2011 dan sekarang menjadi Kantor MTs. Banin yang sudah terbilang bagus bangunannya). Di sana aku bertemu banyak orang. Ada para dewan guru MI sendiri. Kepala Sekolah-ku, dan salah seorang guru yang pernah mengajar les komputerku yang teryata juga tergabung dalam LAPIS. Salah satu panitia, belakang ini baru aku tahu kalau dia juga alumni MA, menanyai kita yang sudah lolos tadi. Oh iya, ternyata bukan aku dan kawanku saja tetapi juga dari MI Banat ada 2 anak. Jadi sekolahku dulu dipisah, Banat untuk cewek dan Banin untuk sebutan sekolah cowok. Pertanyaan demi pertanyaan aku jawab dengan begitu polosnya saat itu. Aku menjawab dan bercerita kenapa aku menggambar sebuah sekolah yang menurutku idaman tersebut dengan 8 WC di sana. Mungkin karena sering antre WC sekolah atau WC sekolahku pada saat itu masih kurang layak. Sedikit lupa, hehe. Selain itu sekolah yang ku gambar dihiasi dengan sungai, hutan, pegunungan, serta persawahan. Sempat terpikirkan juga sekarang, apa tidak takut hewan buas jika situasi dan kondisinya seperti itu, hehe. Tapi entahlah, intinya dulu keinginanku hanyalah sekolah yang nyaman, sejuk, enggak panas dan gersang. Jawabku singkat. Disusul dengan jawaban dari teman-temanku yang lain akhirnya kami dipersilahkan untuk pulang. Singkat cerita, aku pulang menuju rumah yang berjarak sekitar 1 km ke Timur dari sekolahku. Menggunakan sepedah gunung merek Jie-Yang, pemberian bapakku, biasanya cukup 15 menit aku menempuh perjalanan. Cukup cepat juga, soalnya akses jalan yang sudah baik dan cukup lurus saja untuk menuju rumah. Setelah sampai, seperti anak normal yang lain, aku melaporkan (menceritakan) apa yang kualami di sekolah kepada ibuku, cuma beliau saja karena bapakku pada saat itu sudah berangkat mengajar. Dan inilah awal yang tak kuduga. Awalku keliling Jawa Timur. Studi banding ke sekolah-sekolah ternama. Pengalaman menginap di hotel yang pertama kali-ku. Dan Awalku masuk dunia jurnalistik. :)
(Lu..pa, Sapto,Afi, Lutfi, Bu Uun, dan saya yang motret)
Foto ini diambil di depan kamar flamboyan Hotel Mustika Tuban Jawa Timur
Setelah puncak acara LAPIS yaitu Pentas Seni 1 Maret 2008
"Semoga sukses kawan-kawan LAPIS di mana pun kalian berada"
Diberdayakan oleh Blogger.