Rabu, 21 Desember 2016

Tenggelam dalam Realitas



Saat itu sang surya sudah berayun, seharusnya kalau bisa dilihat sinarnya akan tampak elok berwarna oranye. Namun sayang sekali, awan gelap sudah mendominasi langit. Kalau boleh dibilang waktu itu sore hari. Yang biasanya dinikmati oleh beberapa kalangan penikmat kenangan. Sambil membayangkan memori-memori masa silam.
Beberapa muda-mudi sedang berkumpul di sebuah gubuk kecil. Salah satunya adalah seorang perempuan berkacamata hampir minus lima. Kaca tersebut tidak lama ini ia dapatkan dari Boponya.  Tidak salah jika teman- temannya memanggil ia si pecandu buku. Meski sama-sama pegiat literasi namun hanya dirinya yang paling sering terlihat bertatap muka dengan buku. Hingga terbitan luar negeri juga sering ia baca. Terakhir dibacanya adalah karya “A Hunger Artist” milik Kafka yang ia dapatkan beberapa hari yang lalu, yang mana tepat satu tahun setelah edisi bahasa Inggrisnya diterbitkan[1]. Salah satu sarana mempraktikan bahasa Inggrisnya yang ia dapat dari sekolah  AMS (Algemeene Middlebare School) yang kemudian diubah menjadi Sekolah Menengah Tinggi ketika Nipon menguasai tahun 1942. Boponya adalah seorang bupati di pesisir utara Jawa Timur. Kebutuhan yang sulit didapatkan pribumi mudah sekali ia punyai. Tak hanya buku-buku sastra, gincu dan peralatan pemoles wajah hanya ia yang punya.
Dirinya lebih suka dipanggil Surti’ah, meski ia punya nama Belanda yang sering digunakan jika ia dalam acara pesta makan malam bersama Bopo dan teman-teman Belandanya.
Gubuk kecil itu sering kali membunyikan suara rapuhnya jika ada beberapa orang yang bergerak di atasnya. Buruh tani desa tersebut membuatnya sepuluh tahun silam untuk tempat beristirahat melepas penat, namun akhir-akhir ini tiada petani singgah di situ. Semua buruh sudah dialihkan membangun waduk yang akhir-akhir ini diketahui akan menjadi pemasok air berpajak tinggi untuk beberapa desa dan perencanaan listrik demi kebutuhan pemerintahan Hindia Belanda. Perihal darimana ia dapatkan informasi tersebut, ia sering mendengar percakapan Boponya dengan teman Belanda yang lain.
“Ti’ah, apakah kamu tidak kena marah Bupati?”
“Kenapa?”
“Iya, perihal bersama kami?”
“Bukan apa-apa, hanya kalian yang bisa menerimaku, banyak sekali yang memilih menekuk lutut. Sehingga bukan teman yang aku dapatkan. Hanya sekat-sekat.”
“Apakah tidak cukup, Ti’ orang-orang ayahmu di ndalem?”
“Hanya orang bayaran, tidak ada ketulusan menemaniku. Aku lebih suka bersama kalian, berdiskusi, membahas buku-buku ini.”
Rusman, salah satu anak dari buruh tani suruhan Bupati. Seumuran dengan Surti’ah, hanya lebih tua satu bulan. Dirinya akan beranjak kepala dua November nanti. Seringkali Rusman, menanyakan keanehan anak Bupati yang sering meluangkan waktunya duduk bersama anak-anak pribumi.
Surti’ah menelan ludah. Hanya saja, ludahnya seperti menolak untuk masuk melewati kerongkongannya yang kering. Rusman adalah sosok sebenarnya yang menjadikan gadis peranakan Bupati ini mau bersenda gurau di antara petak-petak lahan sawah, di atas gubuk reot.
Agaknya pemuda berperawakan kurus berhidung runcing ini membuat Surti’ah melawan adat ndalemnya. Diawali ketika Sono, Bapak Rusman, ingin bergabung menjadi buruh pembangunan waduk karena lahan sawah yang telah digarapnya satu dasawarsa ini tiba-tiba terkena wabah aneh. Semua palawija yang ditanam mendadak berubah warna menjadi hitam kehijau-hijauan.
Ditemani dengan Rusman, Sono memberanikan diri pergi ke rumah Bupati. Surti’ah tidak sengaja melihat sosok Rusman yang sesekali menggunakan bahasa Belanda saat membantu ayahnya bernegosiasi dengan Bupati agar ayahnya bisa ikut berkerja di waduk tersebut. Sontak, Surti’ah terkagum-kagum karena kala itu sangat jarang sekali ia melihat seorang pribumi seberani anak petani tersebut. Menggunakan Belanda pula. Yang akhir-akhir ini ia baru tahu jika Rusman belajar dari buku pelajaran bahasa yang ia curi dari sekolah Belanda. Juga sering ia mengintip proses belajar mengajar di sana tanpa diketahui siapapun. Hingga kini ia memberanikan diri mengajak beberapa anak pribumi yang lain mengikuti jejaknya. Hak mendapat pendidikan yang tidak diberikan secara bebas ini membuat dirinya melakukan hal seperti itu.
Surti’ah yang notabene hanya seorang perempuan peranakan Belanda yang berkutat dengan buku di kamar, di ruang tengah, maupun di taman ndalem hingga membuat beribu alasan agar dirinya diperbolehkan keluar dari dinding keteraturan keluarga ndalem. Semua itu adalah cerita dua bulan lalu, hingga ia bisa kenal dengan Rusman seperti sekarang ini dan bisa membuat gerakan memperjuangkan pengetahuan lewat buku-buku. Khususnya kepada pribumi yang banyak sekali brelum menyentuh bangku sekolahan.
Belanda Rusman yang cukup fasih bisalah menjadi alasan Bupati hingga Sono diterima menjadi buruh waduk. Namun sebenarnya wabah aneh sawah yang digarap Sono nyatanya adalah makar Boponya Surti’ah. Surti’ah tahu itu saat ia ketahuan masih berkecimpung di dunia literasi desa bersama Rusman. Padahal sudah berkali-kali anak Bupati tidak boleh bersama dengan pribumi. Hingga Surti’ah mendengar penjelasan beberapa tindakan tak berkeperikemanusiaan yang pernah dilakukan Boponya terhadap masyarakat desa. Tak lain untuk menyukseskan niatnya membangun waduk namun masih kekurangan pekerja. Yang setelah dipikirkan olehnya, harus meratakan sawah agar para petani pindah bekerja ke waduk dengan upah yang nyatanya tak sebanding dengan pekerjaan.
“Matahari sudah hampir tenggelam!”
“Iya, Rus. Mungkinkah aku harus kembali sekarang? Buku ini belum selesai.”
Beberapa buku memang diganti sampulnya oleh mereka. Supaya bisa menyembunyikan identitas asli buku curian tersebut.
“Tegakah kau jika aku besok pagi buta dijemput paksa oleh suruhan Bupati jika aku ketahuan bersamamu? Pulanglah!”
“Maaf masih banyak buku yang tersisa untuk dikerjakan. Akankah kamu tidak tidur lagi malam ini?”
“Barang tentu sudah menjadi sesuatu yang wajar orang bawah bersusah payah. Waktu tidur kiranya tidak sampai sepertiga malam.”
Rusman menceritakan jika ia tigaharian ini tidak sempat terlelap. Ibunya membangunkan ketika matanya baru setengah menit terpejam. Tidak menolak ataupun pasrah mengiyakan. Pekerjaan kesehariannya memang membantu Ibunya mencari kerang. Ia lakoni dengan pergi ke pantai yang kira-kira ia bisa tempuh saat Duhur tiba dengan berjalan kaki. Itu pun jika ia berangkat setelah bapaknya Sono turun dari mimbar satu-satunya Masjid di desanya, tepat selepas berkhutbah Subuh.
Setelah percakapan tersebut. Lima muda-mudi di gubuk reot itu kembali ke rumah masing-masing. Lima tersebut, selain Surti’ah dan Rusman, adalah 2 pemuda dan satu gadis yang sama-sama pribumi.
***
Ingatan gadis peranakan Belanda ini tetap sama, tak bisa lepas setiap malamnya dari anak petani Sono. Agaknya sama dengan keadaan sono yang masih tetap sama, beberapa teman kerja Sono sudah menjadi mandor pembangunan waduk yang sudah berjalan sembilan bulan terhitung dari ia masuk. Namun tetap saja Sono menjadi buruh kasar waduk. Sono orang yang taat beragama, dia akan berhenti bekerja ketika waktu sholat tiba. Tampaknya hal itu tidak disukai rekan kerjanya. Rekan kerjanya sering menggunjing, melaporkan kepada pengawas tentang hal yang tidak-tidak saat Sono berhenti berkerja untuk sholat. Mereka iri dengan Sono yang kerjanya bagus sampai berbagai akal busuk dilakukan supaya Sono tidak bisa naik menjadi mandor. Syukur-syukur bisa dikeluarkan, harap mereka.
Sono tidak berhasil dikeluarkan, namun ia tidak naik jabatan. Ia tetap mengangkati batu-batu dari bawah ke tanggul bagian atas. Hal itu masih tetap ia lakukan mulai dulu ketika pembangunan sisi tanggul bagian timur hingga kini sudah sampai barat. Nasib keluarganya malah semakin tidak menentu. Terkadang makan satu kali terkadang hanya minum air. Beda ketika masih menjadi petani. Mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehari makan minimal dua kali. Meski bukan lahannya. Tuan tanahnya adalah Belanda yang baik. Beda dengan Bupati.
Hingga dalam suatu siang gadis peranakan Belanda, Surti’ah, mempunyai kesempatan untuk ikut Rusman pergi ke bibir pantai mencari kerang. Terpikirkan untuk memberanikan diri mengatakan sebuah perasaan yang menggebu-gebu yang pemudi seumurannya bisa rasakan, yaitu sekelumit sebab yang sering membuat kering kerongkongannya ketika bertuturkata. Tidak hanya mereka di sana, di sekitarnya berlarian tiga anak kecil berebut satu kelapa muda. Di bawah pohon kelapa yang tinggal satu buahnya mereka duduk berdua.
Rusman memulai percakapan,
“Ti’, mungkin kesempatan kita bertemu dalam perjuangan gerakan literasi desa akan berkurang.”
“Kenapa? Kamu mau pindah desa? Hanya kamu yang bisa menggerakan anak-anak di sini supaya semangat, bukan hanya anak-anak sebenarnya begitu juga …a...” Seperti tersedak, gadis berkulit putih, bergigi gingsul ini berpura-pura batuk tidak meneruskan kata-katanya.
Lalu dia meneruskan,
“Iya, kenapa?” Percakapan keduannya semakin mendalam.
“Setelah wabah menyerang sawah yang digarap Bapakku, kini kebutuhan keluargaku  semakin tidak terpenuhi. Aku laki-laki, Ti’. Di umur 20 tahunku ini sudah waktuku bertanggung jawab menjadi tulang punggung keluargaku. Dua adik perempuanku. Ibuku. Ayahku yang semakin tua dengan penghasilan yang…”
Surti’ah menyelak,
“Apa niatanmu, Rus? Akankah kau meninggalkan desa ini? Desa yang membesarkanmu?”
“Aku hanya ingin berlayar, Ti’, merantau ke seberang sana. Mungkin saja ada tuan tanah yang berbaik hati menerimaku, hanya itu, Ti’, yang bisa diharapkan oleh darah pribumi. Meringankan beban keluarga. Pulang menjadi orang yang punya. Mengangkat derajat masyarakat pribumi itu juga tujuannya.”
“Seperti itu keinginanmu? Kamu tidak memikirkan nasib anggota gerakan kita.”
Surti’ah mencoba mencari alasan lain supaya Rusman mengurungkan niatnya merantau.
Rusman hanya menatap gelombang ombak yang semakin mendekati pohon kelapa yang mereka gunakan berteduh.
Tiba-tiba Surti’ah sedikit ragu-ragu berkata,
“Ini memang salah keluargaku, aku hanya tidak berani tegas dengan keparat Bopoku!”
“Maksutmu?”
“Iya, terkait dengan wabah itu! Bopo hanya ingin nafsunya terpenuhi, waduknya cepat selesai, dia lakukan segala cara, salah satunya……” Mulai ragu meneruskan.
“Apa, Ti’? Mempertegas.
“Me…Me….ngirim wabah kesawah-sawah supaya petani beralih pekerjaan.”
Ombak yang tadi mulai mendekati kaki Rusman kini seakan menjauh dan semakin jauh. Ombak itu enggan lagi mendekat. Tiga anak kecil yang berebut kelapa muda tadi sudah pergi entah kemana. Menghilang.
Rusman berdiri secara tiba-tiba dan berkata, “Memang, betul kata Bapak. Pribumi hanya menjadi alat. Dengan mudah dipermainkan. Meski, kamu di antara kami, darahmu tetaplah sama darah mereka!”
“Tetapi…”
“Aku… menyukaimu, Rusman!”
“Rus, kau salah satu pribumi yang berbeda, cara memimpinmu, caramu memperlakukan sesamamu. Caramu memperlakukanku.”
“Sudahlah, apa yang kamu katakan tak mengubah keadaan keluargaku. Aku pribumi dan kau...” Selak Rusman.
Rusman berjalan menjauh dari pesisir pantai, menuju pemukimannya. Peranakan Belanda kaku tak bergerak sedikitpun.

Surabaya, 2 Desember 2016

Mohammad Iqbal
Pegiat literasi di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas
Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya
Prodi Sastra Inggris





[1] Karya Franz Kafka “A Hunger Artis” diterbitkan berbahasa Inggris pada tahun 1938
Diberdayakan oleh Blogger.