Senin, 28 Agustus 2017

Kesaksian Pemulung


Cahaya itu amat terang dan terus mendekat ketika tubuh ini melewati dua besi yang berdampingan. Begitu silaunya, hingga aku tidak bisa melihat apapun. Seketika itu yang teringat hanya istriku, Patmi, di rumah. “Besok pagi nanti kita pasti makan enak,” namun lamunan tersebut dibuyarkan oleh teriakan orang di sekitar tempat itu, “Woi.. Pak!” Suara-suara manusia memecah suasana beserta dengan semakin mendekatnya cahaya. Aku tidak berniat jahat kenapa diteriaki. Bukan juga pencuri.

Aku hanya ingin membawa pulang uang hasil usahaku. Jalan ini tidak asing, sering juga kulewati. Ada apa dengan kalian? Kesadaranku bangkit ketika salah seorang berseragam oranye berlari mendekat. Mungkin mencoba menarikku. Tapi mungkin niat baiknya belum bisa menyelamatkan tubuh yang terlebih dulu disambar kereta. Cahaya itu turut hilang menyertai ketidaksadaranku. Selamat Tinggal Patmi.
***
Soal siapa namaku, sebenarnya tidak penting. Yang pasti berkeliling di sekitar komplek tempat kami tinggal menjadi sebuah keseharianku. Aku ditemani istriku Patmi di rumah yang kami sewa sudah hampir lima setengah tahun. Pemilik kontrakan sebenarnya sudah ingin meminta kami pindah dari sini. Bukan masalah kami telat membayar uang sewa. Tapi, barang-barang bekas ini terkadang membuat tetangga kami terganggu.

Sebelum jadi pemulung, kami memiliki usaha berjualan sandal. Wilayah kami berjualan terkadang di daerah Wonokromo terkadang juga di Kodam, tentu pada malam hari. Namun usaha tersebut tak berlangsung lama. Stok sandal yang biasa kami jual dicuri orang. Iya, dicuri. Bukan kami menduga-menduga tanpa bukti. Tapi ada sesama teman kami penjual merasa iri dengan dagangan kami yang sering laris pembeli. Mungkin sudah tidak perlu dibahas lagi. Jika boleh menghapus kenangan. Kami akan menghapus bagian ini.

Kami sudah tak punya modal untuk mengulang usaha ini dari awal. Terlalu berat. Dan terlalu bangsat orang yang mencuri barang dagangan kami. Apalagi Patmi, oh aku sedikit kecewa karena terlalu bersemangat kala itu, ia tengah mengandung tujuh bulan. Tidak bisa ditolak toh, kata orang juga anak pembawa keberuntungan meski perlu tambahan biaya nantinya. Berbicara tentang malam, malam itu, bulan sudah terlihat di tengah-tengah langit, kami duduk berdua di atas kursi kayu yang kaki-kakinya sudah mulai rapuh. “Mi, bagaimana kalau kita mengumpulkan modal lagi, mungkin berjualan kardus dan barang bekas, becak dan kaki-ku ini masih kuat, kok!” Sembari mengusap-usap perutnya dengan tangan kiriku aku meminta. Istriku hanya mengiyakan, kemudian ia terlelap dipundakku. Aku menyertainya pindah ke dalam.

Pagi buta, aku beranjak bekerja. Sebenarnya terserah kehendakku, tidak ada bos yang akan mengancam memotong gajiku jika kesiangan. Hanya saja yang pasti, aku akan menyetorkan barang-barang yang sudah kukumpulkan ke pengepul setiap minggunya. Kalau ditaksir, penghasilanku tidak menentu. Terkadang sehari bisa dapat 100 ribu. Pernah juga tidak mendapatkan barang sama sekali. Sering aku memohon kepada Patmi agar sedikit mengirit biaya belanjanya. Bahkan hingga menanam beberapa bakal jangan sendiri: bayam, kangkung, dan talas. Meski sejujurnya kehamilan Patmi menuntut akan gizi yang lebih baik untuknya. Tapi kami tetap makan seadaanya.

Sebelum berangkat mengayuh becak—yang kubeli dari almarhum Pak Siswo Ketua RT komplek ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rantau—aku selalu berpamitan dengan Patmi. Aku akan cium tangan dan keningnya. Semenjak Patmi mengandung aku juga mencium perutnya yang semakin membuncit itu. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri,” bisikku ke perut Patmi sambil tersenyum melihat matanya. Patmi selalu bertanya, mengapa aku sering membisikkan kata-kata itu. Aku hanya menjawab tentang keinginan anak kami yang nanti lahir bisa mempunyai semangat bekerja yang tinggi. Perihal berpamitan ini, bahkan jika Patmi sedang keluar, aku tetap akan mengusahakan untuk berpamitan. Terkadang melalui kertas yang kuselipkan di atas pintu.

Kami selalu berdoa setiap malam, mengharapkan sesuatu yang paling baik untuk keluarga kecil ini. Aku dan Patmi, serta calon anak kami. Tapi, dunia selalu berputar, terkadang aku ketiban sial. Pada suatu hari, aku sedang keliling komplek Limas. Siang itu, sepi sekali. Tumpukan kardus di pelataran samping rumah mewah berlantai 4 menarik mataku untuk melihatnya. Kuhampiri pelataran itu dengan becakku yang diatasnya sudah nangkring TV cembung yang kubeli 40 ribu dari komplek sebelah. Keberanianku membeli TV tersebut karena sudah kuperkirakan jika memperbaiki kerusakaannya tidak membutuhkan banyak biaya. Setelah itu bisa ku jual lagi dengan harga sepantasnya.

Pelataran tersebut tidak begitu luas. Biasanya terlihat banyak mobil parkir di sana. Siang itu hanya tiga mobil. Sepertinya milik yang punya rumah 4 lantai tersebut, namun itu bukan urusanku. Aku turun dari becak sambil menyeka keringat dengan kaos yang kupakai. “Kalau dikira-kirakan kardus ini bisa laku mahal,” gumamku . Cukuplah untuk tambahan modal Patmi lahiran. Aku ukur menggunakan tangan dengan semakin mendekati kardus tersebut. Tingginya dua setengah rentangan tanganku. “Jika benar harta karun ini bisa dibawa pulang, berarti rezeki Patmi.”

Sayangnya ada teriakan dari rumah 4 lantai tersebut. Teriakan tersebut mengakibatkan aku diusir dari tempat itu. Pakaianku yang lusuh mendukung keterusiran ini. Pemilik rumah yang sekaligus pemilik mobil menganggap aku akan mengambil roda mobilnya. Tidak ada yang percaya sedikitpun denganku. Entah kasihan atau apa. Ada satu orang yang menengahi kericuhan tersebut. Masyarakat membuat perjanjian, aku tidak boleh lewat komplek itu lagi.
***
Oh Patmi, Istriku. Usia kandungannya sudah mencapai waktu. Dia terus mengerang kesakitan, aku harus berbuat apa dengan uang yang tak seberapa. Berlari ke rumah Bu Siswo untuk meminjam sejumlah uang mungkin bisa jadi solusi. Bersyukur sekali, Istri almarhum Pak Siswo ini rela uangnya, yang sebenarnya untuk arisan, aku pinjam. Aku segera berangkatkan Patmi ke Puskemas.

Patmi melahirkan anak laki-laki. Tanpa cacat sedikitpun. Aku mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga  kirinya. Harapku kelak dia akan menjadi anak yang sukses: bersemangat juang tinggi seperti bapaknya ini. Patmi mungkin terharu, air matanya meleleh. Ku rangkul ia sekuat mungkin dengan mataku yang juga mulai basah.
***
Usia Nasihin, anak laki-lakiku, sudah menginjak tiga tahun. Waktu yang singkat untuk mengumpulkan uang yang cukup banyak dengan seragam dinas. Tapi tidak denganku. Pendapatan hasil mengumpulkan barang-barang bekas tidak menentu. Uang pinjaman dari Bu Siswo belum bisa aku kembalikan sepenuhnya. Hingga sungkan lewat depan rumahnya. 

Minggu yang cerah, aku tidak berkeliling komplek seperti biasa. Memang, Minggu adalah hari yang aku khususkan untuk Patmi dan Nasihin. Kami bercanda bersama dengan Nasihin. “Anak ini cerdas Mi, dia bisa mengingat-ingat nama orang yang pernah bertemu dengannya,” tuturku. Kami berdua tertawa ketika Nasihin salah menyebutkan beberapa nama yang pagi ini bertemu dengannya. Setiap pagi, Nasihin pasti kuajak jalan-jalan dan bertemu dengan tetangga sekitar.

Sore harinya, Pak Haji Syafi’i mendatangi rumahku, ia ingin aku membantunya mengambil beberapa barang di rumahnya yang lama untuk dipindah ke rumah baru. “Nggeh setelah ini saya akan berangkat, Pak!” Jawabku bersemangat. Anak memang pembawa keberuntungan. Setelah itu aku menyiapkan becak: mengecek tekanan ban, membersihkan debu yang menempel, dan membawa tali yang pasti akan dibutuhkan.

“Patmi... Patmi...” Sedikit berteriak. Aku teringat jika sore ini Ia diundang mengikuti tahlilan di rumah Bu Siswo. Aku tidak bisa berangkat jika tidak berpamitan. Seperti biasa jika Ia sedang keluar, catatan kecilku buat untuk berpamitan dengannya. Lalu kuselipkan di atas pintu. Sesampainya di rumah Pak Haji, ia memberikan rute ke rumahnya yang baru. “Nanti lewat pasar dan lewat perlintasan rel kereta, ya!” Pak Haji menjelaskan. Aku sudah terlalu paham karena rute tersebut memang sering kulewati. Aku berangkat.
***
“To, malam ini kamu mau enggak jaga perlintasan kereta depan bank?” Pinta seoarang laki-laki yang mukanya semakin pucat pasi kepada temannya. Panggilannya Broto, meski nama aslinya tak ada sedikitpun kata itu. Ucup meminta menggantikannya menjaga perlintasan. Kendati malam ini bukan tugas Broto, tapi ia mau karena tahu jika Ucup harus siang-malam menjaga ibunya yang sakit-sakitan. “Oke, cuman tinggalkan rokok 1 bungkus untukku!” Rokok diberikan, Broto berangkat ke gardu perlintasan.

Hari sudah petang, rokok tidak sia-sia dibawa, ia menemani seseorang dalam kesendirian. Broto coba menyalakan sebatang, angin tidak henti-hentinya bertiup kencang. Rokok gagal ia nikmati. Suara peringatan kereta akan melintas akhirnya mengalihkan perhatiannya. Seperti biasa Broto akan mengecek keadaan sekitar. “Palang pintu sudah tertutup, sudah aman,” kata Broto.

Mata Broto terbelalak, degup jantungnya kian kencang ketika ada seseorang menuntun becak melewati rel tanpa menghiraukan suara peringatan. Palang pintu perlintasan pun terlalu tinggi untuk orang itu. Riuh teriakan menyertai kejadian tersebut. Semua orang di sana berteriak. Mencoba mengingatkan lelaki yang seperti tanpa dosa nyelonong ke rel. Broto dengan sigap melompat dari jendela gardu hendak menyelamatkan lelaki itu. Waktu terus berjalan. Cahaya kereta mengganggu penglihatan Broto. Ia kalah cepat dengan kereta yang akhirnya menyambar seorang lelaki paruh baya tersebut. Broto berdiri kaku di samping kereta yang kemudian berhenti. 

*] M. Iqbal Maulana, lahir di Tuban. Mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya 

Cerpen ini pernah terbit di Lembar Budaya Jawa Pos Radar Bojonegoro Minggu 27 Agustus 2017

Diberdayakan oleh Blogger.