Sudah termaktub dalam Undang-undang tentang Pendidikan
Tinggi Nomor 12 tahun 2012, kampus sebagai pelaksana pendidikan tinggi wajib
menyelenggarakan Tridharma Peguruan Tinggi. Tiga kewajiban tersebut, yang juga
harus sejak awal ditanamkan kepada para mahasiswa, yaitu Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Hal itu secara berkelanjutan
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai
bentuk penjamin mutu perguruan tinggi dalam menjalankan tiga kewajiban
tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti) mempuyai Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT). Menurut acuan Permenristekdikti
No. 32 Tahun 2016, BAN-PT memberikan masa berlaku akreditasi selama 5 tahun dan
akan diadakan penilaian kelayakan ulang. Untuk hal ini ada kampus yang begitu
menginginkan supaya bisa mempertahankan akreditasi bagus yang telah diperoleh
atau meningkatkan raihan akreditasi. Terkadang sampai melakukan beberapa hal
yang cenderung berseberangan dengan nilai-nilai utama perguruan tinggi.
Dari
pengamatan penulis di kampusnya, program studi akan melakukan persiapan sebagus
mungkin ketika tim assessor dari BAN-PT datang. Situs resmi UINSA www.uinsby.ac.id
menyatakan sudah 75% prodi di UINSA yang terakreditasi A. Namun, menurut Wakil
Rektor I bidang Akademik, Dr. Syamsul Huda, UINSA sudah memilik prodi
terakreditasi A 60% dari seluruh prodi. Sayangnya obsesi terhadap akreditasi
ini terlalu menggebu-gebu. Titik fokus utamanya adalah mencapai tingkatan
akreditasi yang lebih tinggi. Mengingat kampus akan mendapat bantuan anggaran
yang lebih tinggi jika akreditasi prodinya mayoritas A. Namun pada kenyataannya
bukan kualitas atau esensi yang ada. Ada sesuatu yang terselip dan seperti
disembunyikan. Kinerja dosen dalam proses pembelajaran pun masih kurang
maksimal. Dosen yang kurang berkompetensi dengan mata kuliah yang diampu masih
bertebaran. Frekuensi tinggi ketidakhadiran dosen juga meliputinya.
Sayangnya
mereka yang berkepentingan masih belum berani jujur dan mulai berbenah. Penulis
pernah melakukan wawancara kepada salah satu mahasiswa pemangku kebijakan yang
tidak bisa dipandang remeh di organisasi himpunan mahasiswa prodi, dimana
belakangan ini telah didatangi tim assesor dari BAN-PT. Narasumber
tersebut mengaku jika mahasiswa telah mendapat intervensi dari pihak dekanat
sebelum mereka bertemu tim assessor.
Tidak
salah lagi, intervensi dimaksud berupa instruksi kepada mahasiswa supaya
menjawab sesuai dengan keinginan dekanat. Bukan atas realita yang ada. Adakah
ketakutan tersendiri dengan kenyataan yang ada? Selain itu, narasumber dari
mahasiswa prodi lain di fakultas berlabel kuning, malah mengaku himpunan
mahasiswa prodinya tidak diikutkan dalam proses akreditasi. Pihak pemimpin
tertinggi di prodi tersebut pun mengaku tak mengikutkan organisasi hanya karena
libur kuliah. Pihak tertinggi tersebut mengklaim hanya mengambil perwakilan
mahasiswa umum.
Agaknya
kampus sebagai tempat para manusia bebas untuk mengembangkan intelektualnya,
harus mulai berbenah meski berisiko. Supaya akreditasi tidak menjadi pemahaman
yang menyesatkan. Tampil di muka gemerlapan. Sivitas akademik yang di dalam
dipertanyakan. Sebagaimana George W. F. Hegel memberi kesaksian dalam Phenomenology
of Mind yaitu hanya dengan mengambil risiko hiduplah kebebasan dapat
dicapai. Seorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya tak diragukan tetap
dapat diakui sebagai pribadi. Namun tidak akan mencapai hakikat pengakuan
tersebut yang mana sesuatu kesadaran diri yang mandiri.
Kesadaran
diri ini tidak berarti semerta-merta menjadikan pihak pemangku kepentingan di
kampus menyerah kepada realita yang ada. Namun dengan kebebasan ini kampus
harus berani melakukan reformasi di dalam sistem yang ada. Membekukan kultur
bersembunyi dari keadaan yang sekarang dan melakukan perubahan luar-dalam.
UINSA akan menjadi kampus yang benar-benar diakui dari luar dan dalam.
Selangkah lebih dekat dengan World Class University.
Selain
itu, para stakeholder UINSA, harus lebih terbuka kepada mahasiswa.
Interaksi dengan mahasiswa mesti diutamakan. Mahasiswa juga punya andil dalam
akreditasi kampusnya. Mahasiswa organisatoris maupun bukan, mereka adalah warga
UINSA yang ikut juga bertanggung jawab dengan kampusnya. Keinginan lekas
mendapat hasil akreditasi bagus harusnya juga tidak menjadi titik utama, jika
boleh penulis meminjam pendapat dari Tan Malaka dalam bukunya Materialisme
Dialektika Logika (Madilog, Bab III Ilmu Pengetahuan-Sains) “Sedangkan
sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu
sendiri.”
Wallahul
Muwafiq ila Aqwami Thoriq.
*) Mohammad Iqbal, Mahasiswa Aktif Semester 6 Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, sekaligus
Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surabaya 2016.
Artikel ini juga pernah dimuat di Koran Beranda Edisi Februari-Maret 2017
Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya