Pembaca bisa menyelesaikan buku ini dengan ditemani jajan sisa lebaran |
HENDAKNYA KEPADA
CATATAN-CATATANKU INI KALIAN BERI JUDUL RUMAH KACA – Begitulah yang
ditulis oleh Pangemanann dengan dua n sosok mantan komisaris
polisi yang hidupnya sangat tertekan. Menurutnya jika tulisan dalam memoar Rumah Kaca sampai ditangan pembaca hendaknya nama Rumah Kaca diberikan. Meski pencapaian atas kerja Pangemanann diakui hingga diangkat sebagai pegawai Algemene Secretarie
oleh Gubermen Idenburg, ia sangat sakit dalam hatinya. Hatinya yang paling
dalam berbicara tentang kemanusiaan. Tapi pangkat, keluarga: istri dan empat
anaknya, semua itu menekannya untuk tetap berpura-pura menjadi buruh Gubermen
dalam keadaan tertekan. Hingga ia dipecat dan hilang tidak dianggap seperti
halnya perjuangan Minke.
Rumah Kaca: sebuah memoar karya
Pramoedya Ananta Toer (PAT) ini menjadi karya ke-empat melengkapi Tetralogi
Buru. Ke empat karya tersebut mencakup Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. PAT menyuguhkan sudut pandang yang berbeda
di buku terakhir. Jika ketiga memoar sebelumnya seolah-olah Minke, tokoh utama,
yang menuliskan cerita. Di buku terakhir ini menjadi Pangemanann yang menuliskan
cerita. Bagaimana bisa?
Di buku ketiga—Jejak Langkah—bagian
akhir menceritakan tentang perencanaan Gubermen untuk membendung Minke yang cenderung
reaksioner terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Siapa juga yang akan anteng-anteng
menerima dengan kebijakan Belanda dulu yang jian uashu. Bahkan Minke
yang sebagai alumni sekolah dokter yang meski tidak lulus pastilah langsung
bertindak melalui korannya, Medan.
Sebenarnya kejahatan-kejahatan
kolonial lebih banyak diceritakan di buku ke-tiganya PAT. Buku ke-empat ini
lebih cenderung ke penurunan klimak dari sisi tokoh Minke: Mulai dari
penangkapan Minke hingga kematiannya dalam sepi. Tapi dilihat dari sudut
pandang Pangemanann pembaca akan cenderung diombang-ambingkan oleh tokoh ini.
Dalam buku ini dijelaskan, Rumah
Kaca adalah istilah Pangemanann sebagai pegawai Algemene Secretarie dalam pengawasan
terhadap orang-orang yang dianggap pergerakannya mengancam pemerintahan kolonial.
Dia memetakan orang-orang tersebut. Jika dinilai terlalu jauh pergerakannya
maka Gubermen beserta jajarannya akan menggunakan hak ekslusif negara. Salah
satunya membuang mereka. Pangemanann lah yang bertugas membuat berbagai alasan
yang kuat dan logis untuk mendasari penangkapan dan pembuangan tokoh pergerakan
itu. Banyak dampak pembuangan ini: Minke, Wardi, Dowager, Tjipto. Bahkan
seorang perempuan yang aktif bergerak melalui pena pun terkena dampaknya.
Perempuan ini bernama Siti
Soendari atau biasa memiliki identitas rahasia S.S. Dampak pergerakannya melalui
pena ini mengakibatkan tanggapan dari kolonial. Jian uashu otak kolonial
memang cerdas. Bapak dari Soendari ini kan pegawai pemerintahan. Titik lemahnya
di sini. Bapaknya diminta memilih. Menikahkan anaknya atau jabatannya turun.
Mesti trik klasik namun endingnya cukup menarik. Kedua orang ini dibuat
menghilang oleh PAT. Menghilang dari keadaan yang mengancam.
Ceritanya dikemas dengan sangat
apik. Jika ingin membaca buku terakhir dari Tetralogi Buru ini penulis sarankan
untuk membaca buku sebelumnya. Karena keterikatan alur cerita dengan buku
sebelumnya bisa membuat pembaca bingung dan tidak paham jika langsung membaca buku terakhir ini. Tetralogi Buru ini
bisa membangkitkan rasa kemanusiaan
seseorang.
Berapa lama menyelesaikan buku
ini? Sebentar. Dicoba aja langsung baca. Kalau bosan bisa sambil makan jajanan
sisa hari raya. Enak bukan? Hehe. Mohon maaf lahir batin semuanya! Oh iya, ini
bukan resensi.
Tuban, 5 Juli 2017