Minggu, 18 September 2016

Pers Mahasiswa adalah Racun

Adalah ucapan dari salah satu teman yang bertempat tinggal satu atap di tanah perantauanku. Bukan masalah yang pelik jika ucapan tersebut diterima oleh orang yang lebih sering bersinggungan dengan media. Yaitu para pemangku kepentingan. Para eksekutif-eksekutif. yang berangkatnya lebih dulu dari pada yang ekonomi (mereka bilang KRD, perantauan Bojonegoro – Surabaya pasti tahu!). Yang memiliki wewenang mengeluarkan aturan dan menarik aturan itu sendiri.
“Loh, Mas! Kalau yang diracun itu hama gimana? Tikus misalnya.” Jawabanku yang tak terungkapkan secara verbal. Mas ku yang satu ini adalah salah seorang eksekutif kampus. Bisa dibilang pandai berorganisasi. Pasalnya, kelihaian dia bercakap-cakap, menjelaskan pola-pola organisasi, di depan dedek-dedek gemez sudah tak diragukan lagi. Keren bukan?
Jawaban verbalku kepadanya hanyalah sebuah kata yang artinya semacam “tai”. Itu saja. Tentunya dengan bahasa Jawa dan logat daerah kelahiranku yang khas.
Haha, tentunya jangan dipraktikan kepada eksekutif-eksekutif lain. Beda, Mas ku yang satu ini sudah biasa menerima pisuhan yang bertubi-tubi. Meski terkadang pisuhan itu juga ditepis dan menuju ke arahku.
Mungkin anak-anak Persma, singkatan dari Pers Mahasiswa, akan memberi pertanyaan kembali jika ada ujaran seperti judul di atas. Lanjut, akan menjelaskan tujuan serta fungsi Persma beserta Kode Etik Jurnalistik jika memang tahu dan mungkin masih sempat menyimpan buku saku jurnalis di kantong tasnya. Untung-untungan saja tidak terjadi debat kusir. Meski dokar sudah jarang ditemui, banyak kusir yang masih berkeliaran.
Kalau menurut ku, hal itu lumayan “tai”. Karena sudah tidak waktunya menjelaskan. Buktinya dalam sebuah agenda, banyak kerabat-kerabat Persma se-lembagaku secara prosedural diminta bukti, mengenai dari lembaga pers dan punya tugas jurnalistik, oleh para pemangku kepentingan ketika akan meliput. Malahan mereka meminta lagi surat tugas. Sangat... iya sangat berhati-hati.
Mungkin ada sebuah kejutan. Apalagi jika ada kata-kata bisikan “Mas beritanya yang baik-baik ya!” kata-kata yang pernah diterima oleh pucuk tertinggi lembaga persku yang diutarakan seseorang. Sudah tidak waktunya lagi bukan menjelaskan tentang kejurnalistikan? Meski hak jawab dan hak koreksi ada, mereka mungkin saja lupa. Lebih enak memilih bisikan di atas.
Melegitimasi perkataan “Persma adalah Racun” dengan pengetahuan tentang berita-berita media mainstream yang judulnya semacam “Jokowi Punya Nama Lain, Ini Tanggapan Netizen” itu adalah tindakan gegabah. Bahkan hingga pertanyaan dari teman-teman seperti “Kalian berpihak kepada siapa sih?” yang sering dilontarkan, tidak kami jawab dengan panjang lebar. Kami hanya berkata “Ikutilah media kami!”
Selain sebuah prinsip yang kami pegang dengan tanpa mengatakan idealisme, Persma adalah sebuah Pergerakan Alternatif yang memungkinkan fungsi penyeimbang terus diemban tanpa perlu mengorbankan kaum intelektual muda dalam proses pencapaian tujuan-nya karena harus secara fisik berhadapan dengan Polisi Huru Hara (PHH). Meski kenyataannya terkadang bukan PHH yang dihadapi. Tetapi teman sendiri. Mungkin harus buat kaos hitam bersablon tulisan “Kami hanya Pencari Data, bukan Pembawa Petaka.”
Bila mulutmu dibungkam, bicaralah dengan pena

_
Ditulis di Warung Tepi Kota.
17/9/2016 4.00 AM
Diberdayakan oleh Blogger.