Rabu, 05 Juli 2017

Pangemanann: Rumah Kaca Tanpa Kaca

Pembaca bisa menyelesaikan buku ini dengan ditemani jajan sisa lebaran

HENDAKNYA KEPADA CATATAN-CATATANKU INI KALIAN BERI JUDUL RUMAH KACA – Begitulah yang ditulis oleh Pangemanann dengan dua n sosok mantan komisaris polisi yang hidupnya sangat tertekan. Menurutnya jika tulisan dalam memoar Rumah Kaca sampai ditangan pembaca hendaknya nama Rumah Kaca diberikan. Meski pencapaian atas kerja Pangemanann diakui hingga diangkat sebagai pegawai Algemene Secretarie oleh Gubermen Idenburg, ia sangat sakit dalam hatinya. Hatinya yang paling dalam berbicara tentang kemanusiaan. Tapi pangkat, keluarga: istri dan empat anaknya, semua itu menekannya untuk tetap berpura-pura menjadi buruh Gubermen dalam keadaan tertekan. Hingga ia dipecat dan hilang tidak dianggap seperti halnya perjuangan Minke.
Rumah Kaca: sebuah memoar karya Pramoedya Ananta Toer (PAT) ini menjadi karya ke-empat melengkapi Tetralogi Buru. Ke empat karya tersebut mencakup Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. PAT menyuguhkan sudut pandang yang berbeda di buku terakhir. Jika ketiga memoar sebelumnya seolah-olah Minke, tokoh utama, yang menuliskan cerita. Di buku terakhir ini menjadi Pangemanann yang menuliskan cerita. Bagaimana bisa?
Di buku ketiga—Jejak Langkah—bagian akhir menceritakan tentang perencanaan Gubermen untuk membendung Minke yang cenderung reaksioner terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Siapa juga yang akan anteng-anteng menerima dengan kebijakan Belanda dulu yang jian uashu. Bahkan Minke yang sebagai alumni sekolah dokter yang meski tidak lulus pastilah langsung bertindak melalui korannya, Medan.
Sebenarnya kejahatan-kejahatan kolonial lebih banyak diceritakan di buku ke-tiganya PAT. Buku ke-empat ini lebih cenderung ke penurunan klimak dari sisi tokoh Minke: Mulai dari penangkapan Minke hingga kematiannya dalam sepi. Tapi dilihat dari sudut pandang Pangemanann pembaca akan cenderung diombang-ambingkan oleh tokoh ini.
Dalam buku ini dijelaskan, Rumah Kaca adalah istilah Pangemanann sebagai pegawai Algemene Secretarie dalam pengawasan terhadap orang-orang yang dianggap pergerakannya mengancam pemerintahan kolonial. Dia memetakan orang-orang tersebut. Jika dinilai terlalu jauh pergerakannya maka Gubermen beserta jajarannya akan menggunakan hak ekslusif negara. Salah satunya membuang mereka. Pangemanann lah yang bertugas membuat berbagai alasan yang kuat dan logis untuk mendasari penangkapan dan pembuangan tokoh pergerakan itu. Banyak dampak pembuangan ini: Minke, Wardi, Dowager, Tjipto. Bahkan seorang perempuan yang aktif bergerak melalui pena pun terkena dampaknya.
Perempuan ini bernama Siti Soendari atau biasa memiliki identitas rahasia S.S. Dampak pergerakannya melalui pena ini mengakibatkan tanggapan dari kolonial. Jian uashu otak kolonial memang cerdas. Bapak dari Soendari ini kan pegawai pemerintahan. Titik lemahnya di sini. Bapaknya diminta memilih. Menikahkan anaknya atau jabatannya turun. Mesti trik klasik namun endingnya cukup menarik. Kedua orang ini dibuat menghilang oleh PAT. Menghilang dari keadaan yang mengancam.
Ceritanya dikemas dengan sangat apik. Jika ingin membaca buku terakhir dari Tetralogi Buru ini penulis sarankan untuk membaca buku sebelumnya. Karena keterikatan alur cerita dengan buku sebelumnya bisa membuat pembaca bingung dan tidak paham jika langsung membaca buku terakhir ini. Tetralogi Buru ini bisa membangkitkan rasa  kemanusiaan seseorang.
Berapa lama menyelesaikan buku ini? Sebentar. Dicoba aja langsung baca. Kalau bosan bisa sambil makan jajanan sisa hari raya. Enak bukan? Hehe. Mohon maaf lahir batin semuanya! Oh iya, ini bukan resensi.
Tuban, 5 Juli 2017

Diberdayakan oleh Blogger.