Senin, 28 Agustus 2017

Kesaksian Pemulung


Cahaya itu amat terang dan terus mendekat ketika tubuh ini melewati dua besi yang berdampingan. Begitu silaunya, hingga aku tidak bisa melihat apapun. Seketika itu yang teringat hanya istriku, Patmi, di rumah. “Besok pagi nanti kita pasti makan enak,” namun lamunan tersebut dibuyarkan oleh teriakan orang di sekitar tempat itu, “Woi.. Pak!” Suara-suara manusia memecah suasana beserta dengan semakin mendekatnya cahaya. Aku tidak berniat jahat kenapa diteriaki. Bukan juga pencuri.

Aku hanya ingin membawa pulang uang hasil usahaku. Jalan ini tidak asing, sering juga kulewati. Ada apa dengan kalian? Kesadaranku bangkit ketika salah seorang berseragam oranye berlari mendekat. Mungkin mencoba menarikku. Tapi mungkin niat baiknya belum bisa menyelamatkan tubuh yang terlebih dulu disambar kereta. Cahaya itu turut hilang menyertai ketidaksadaranku. Selamat Tinggal Patmi.
***
Soal siapa namaku, sebenarnya tidak penting. Yang pasti berkeliling di sekitar komplek tempat kami tinggal menjadi sebuah keseharianku. Aku ditemani istriku Patmi di rumah yang kami sewa sudah hampir lima setengah tahun. Pemilik kontrakan sebenarnya sudah ingin meminta kami pindah dari sini. Bukan masalah kami telat membayar uang sewa. Tapi, barang-barang bekas ini terkadang membuat tetangga kami terganggu.

Sebelum jadi pemulung, kami memiliki usaha berjualan sandal. Wilayah kami berjualan terkadang di daerah Wonokromo terkadang juga di Kodam, tentu pada malam hari. Namun usaha tersebut tak berlangsung lama. Stok sandal yang biasa kami jual dicuri orang. Iya, dicuri. Bukan kami menduga-menduga tanpa bukti. Tapi ada sesama teman kami penjual merasa iri dengan dagangan kami yang sering laris pembeli. Mungkin sudah tidak perlu dibahas lagi. Jika boleh menghapus kenangan. Kami akan menghapus bagian ini.

Kami sudah tak punya modal untuk mengulang usaha ini dari awal. Terlalu berat. Dan terlalu bangsat orang yang mencuri barang dagangan kami. Apalagi Patmi, oh aku sedikit kecewa karena terlalu bersemangat kala itu, ia tengah mengandung tujuh bulan. Tidak bisa ditolak toh, kata orang juga anak pembawa keberuntungan meski perlu tambahan biaya nantinya. Berbicara tentang malam, malam itu, bulan sudah terlihat di tengah-tengah langit, kami duduk berdua di atas kursi kayu yang kaki-kakinya sudah mulai rapuh. “Mi, bagaimana kalau kita mengumpulkan modal lagi, mungkin berjualan kardus dan barang bekas, becak dan kaki-ku ini masih kuat, kok!” Sembari mengusap-usap perutnya dengan tangan kiriku aku meminta. Istriku hanya mengiyakan, kemudian ia terlelap dipundakku. Aku menyertainya pindah ke dalam.

Pagi buta, aku beranjak bekerja. Sebenarnya terserah kehendakku, tidak ada bos yang akan mengancam memotong gajiku jika kesiangan. Hanya saja yang pasti, aku akan menyetorkan barang-barang yang sudah kukumpulkan ke pengepul setiap minggunya. Kalau ditaksir, penghasilanku tidak menentu. Terkadang sehari bisa dapat 100 ribu. Pernah juga tidak mendapatkan barang sama sekali. Sering aku memohon kepada Patmi agar sedikit mengirit biaya belanjanya. Bahkan hingga menanam beberapa bakal jangan sendiri: bayam, kangkung, dan talas. Meski sejujurnya kehamilan Patmi menuntut akan gizi yang lebih baik untuknya. Tapi kami tetap makan seadaanya.

Sebelum berangkat mengayuh becak—yang kubeli dari almarhum Pak Siswo Ketua RT komplek ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rantau—aku selalu berpamitan dengan Patmi. Aku akan cium tangan dan keningnya. Semenjak Patmi mengandung aku juga mencium perutnya yang semakin membuncit itu. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri,” bisikku ke perut Patmi sambil tersenyum melihat matanya. Patmi selalu bertanya, mengapa aku sering membisikkan kata-kata itu. Aku hanya menjawab tentang keinginan anak kami yang nanti lahir bisa mempunyai semangat bekerja yang tinggi. Perihal berpamitan ini, bahkan jika Patmi sedang keluar, aku tetap akan mengusahakan untuk berpamitan. Terkadang melalui kertas yang kuselipkan di atas pintu.

Kami selalu berdoa setiap malam, mengharapkan sesuatu yang paling baik untuk keluarga kecil ini. Aku dan Patmi, serta calon anak kami. Tapi, dunia selalu berputar, terkadang aku ketiban sial. Pada suatu hari, aku sedang keliling komplek Limas. Siang itu, sepi sekali. Tumpukan kardus di pelataran samping rumah mewah berlantai 4 menarik mataku untuk melihatnya. Kuhampiri pelataran itu dengan becakku yang diatasnya sudah nangkring TV cembung yang kubeli 40 ribu dari komplek sebelah. Keberanianku membeli TV tersebut karena sudah kuperkirakan jika memperbaiki kerusakaannya tidak membutuhkan banyak biaya. Setelah itu bisa ku jual lagi dengan harga sepantasnya.

Pelataran tersebut tidak begitu luas. Biasanya terlihat banyak mobil parkir di sana. Siang itu hanya tiga mobil. Sepertinya milik yang punya rumah 4 lantai tersebut, namun itu bukan urusanku. Aku turun dari becak sambil menyeka keringat dengan kaos yang kupakai. “Kalau dikira-kirakan kardus ini bisa laku mahal,” gumamku . Cukuplah untuk tambahan modal Patmi lahiran. Aku ukur menggunakan tangan dengan semakin mendekati kardus tersebut. Tingginya dua setengah rentangan tanganku. “Jika benar harta karun ini bisa dibawa pulang, berarti rezeki Patmi.”

Sayangnya ada teriakan dari rumah 4 lantai tersebut. Teriakan tersebut mengakibatkan aku diusir dari tempat itu. Pakaianku yang lusuh mendukung keterusiran ini. Pemilik rumah yang sekaligus pemilik mobil menganggap aku akan mengambil roda mobilnya. Tidak ada yang percaya sedikitpun denganku. Entah kasihan atau apa. Ada satu orang yang menengahi kericuhan tersebut. Masyarakat membuat perjanjian, aku tidak boleh lewat komplek itu lagi.
***
Oh Patmi, Istriku. Usia kandungannya sudah mencapai waktu. Dia terus mengerang kesakitan, aku harus berbuat apa dengan uang yang tak seberapa. Berlari ke rumah Bu Siswo untuk meminjam sejumlah uang mungkin bisa jadi solusi. Bersyukur sekali, Istri almarhum Pak Siswo ini rela uangnya, yang sebenarnya untuk arisan, aku pinjam. Aku segera berangkatkan Patmi ke Puskemas.

Patmi melahirkan anak laki-laki. Tanpa cacat sedikitpun. Aku mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga  kirinya. Harapku kelak dia akan menjadi anak yang sukses: bersemangat juang tinggi seperti bapaknya ini. Patmi mungkin terharu, air matanya meleleh. Ku rangkul ia sekuat mungkin dengan mataku yang juga mulai basah.
***
Usia Nasihin, anak laki-lakiku, sudah menginjak tiga tahun. Waktu yang singkat untuk mengumpulkan uang yang cukup banyak dengan seragam dinas. Tapi tidak denganku. Pendapatan hasil mengumpulkan barang-barang bekas tidak menentu. Uang pinjaman dari Bu Siswo belum bisa aku kembalikan sepenuhnya. Hingga sungkan lewat depan rumahnya. 

Minggu yang cerah, aku tidak berkeliling komplek seperti biasa. Memang, Minggu adalah hari yang aku khususkan untuk Patmi dan Nasihin. Kami bercanda bersama dengan Nasihin. “Anak ini cerdas Mi, dia bisa mengingat-ingat nama orang yang pernah bertemu dengannya,” tuturku. Kami berdua tertawa ketika Nasihin salah menyebutkan beberapa nama yang pagi ini bertemu dengannya. Setiap pagi, Nasihin pasti kuajak jalan-jalan dan bertemu dengan tetangga sekitar.

Sore harinya, Pak Haji Syafi’i mendatangi rumahku, ia ingin aku membantunya mengambil beberapa barang di rumahnya yang lama untuk dipindah ke rumah baru. “Nggeh setelah ini saya akan berangkat, Pak!” Jawabku bersemangat. Anak memang pembawa keberuntungan. Setelah itu aku menyiapkan becak: mengecek tekanan ban, membersihkan debu yang menempel, dan membawa tali yang pasti akan dibutuhkan.

“Patmi... Patmi...” Sedikit berteriak. Aku teringat jika sore ini Ia diundang mengikuti tahlilan di rumah Bu Siswo. Aku tidak bisa berangkat jika tidak berpamitan. Seperti biasa jika Ia sedang keluar, catatan kecilku buat untuk berpamitan dengannya. Lalu kuselipkan di atas pintu. Sesampainya di rumah Pak Haji, ia memberikan rute ke rumahnya yang baru. “Nanti lewat pasar dan lewat perlintasan rel kereta, ya!” Pak Haji menjelaskan. Aku sudah terlalu paham karena rute tersebut memang sering kulewati. Aku berangkat.
***
“To, malam ini kamu mau enggak jaga perlintasan kereta depan bank?” Pinta seoarang laki-laki yang mukanya semakin pucat pasi kepada temannya. Panggilannya Broto, meski nama aslinya tak ada sedikitpun kata itu. Ucup meminta menggantikannya menjaga perlintasan. Kendati malam ini bukan tugas Broto, tapi ia mau karena tahu jika Ucup harus siang-malam menjaga ibunya yang sakit-sakitan. “Oke, cuman tinggalkan rokok 1 bungkus untukku!” Rokok diberikan, Broto berangkat ke gardu perlintasan.

Hari sudah petang, rokok tidak sia-sia dibawa, ia menemani seseorang dalam kesendirian. Broto coba menyalakan sebatang, angin tidak henti-hentinya bertiup kencang. Rokok gagal ia nikmati. Suara peringatan kereta akan melintas akhirnya mengalihkan perhatiannya. Seperti biasa Broto akan mengecek keadaan sekitar. “Palang pintu sudah tertutup, sudah aman,” kata Broto.

Mata Broto terbelalak, degup jantungnya kian kencang ketika ada seseorang menuntun becak melewati rel tanpa menghiraukan suara peringatan. Palang pintu perlintasan pun terlalu tinggi untuk orang itu. Riuh teriakan menyertai kejadian tersebut. Semua orang di sana berteriak. Mencoba mengingatkan lelaki yang seperti tanpa dosa nyelonong ke rel. Broto dengan sigap melompat dari jendela gardu hendak menyelamatkan lelaki itu. Waktu terus berjalan. Cahaya kereta mengganggu penglihatan Broto. Ia kalah cepat dengan kereta yang akhirnya menyambar seorang lelaki paruh baya tersebut. Broto berdiri kaku di samping kereta yang kemudian berhenti. 

*] M. Iqbal Maulana, lahir di Tuban. Mahasiswa Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya 

Cerpen ini pernah terbit di Lembar Budaya Jawa Pos Radar Bojonegoro Minggu 27 Agustus 2017

Rabu, 05 Juli 2017

Pangemanann: Rumah Kaca Tanpa Kaca

Pembaca bisa menyelesaikan buku ini dengan ditemani jajan sisa lebaran

HENDAKNYA KEPADA CATATAN-CATATANKU INI KALIAN BERI JUDUL RUMAH KACA – Begitulah yang ditulis oleh Pangemanann dengan dua n sosok mantan komisaris polisi yang hidupnya sangat tertekan. Menurutnya jika tulisan dalam memoar Rumah Kaca sampai ditangan pembaca hendaknya nama Rumah Kaca diberikan. Meski pencapaian atas kerja Pangemanann diakui hingga diangkat sebagai pegawai Algemene Secretarie oleh Gubermen Idenburg, ia sangat sakit dalam hatinya. Hatinya yang paling dalam berbicara tentang kemanusiaan. Tapi pangkat, keluarga: istri dan empat anaknya, semua itu menekannya untuk tetap berpura-pura menjadi buruh Gubermen dalam keadaan tertekan. Hingga ia dipecat dan hilang tidak dianggap seperti halnya perjuangan Minke.
Rumah Kaca: sebuah memoar karya Pramoedya Ananta Toer (PAT) ini menjadi karya ke-empat melengkapi Tetralogi Buru. Ke empat karya tersebut mencakup Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. PAT menyuguhkan sudut pandang yang berbeda di buku terakhir. Jika ketiga memoar sebelumnya seolah-olah Minke, tokoh utama, yang menuliskan cerita. Di buku terakhir ini menjadi Pangemanann yang menuliskan cerita. Bagaimana bisa?
Di buku ketiga—Jejak Langkah—bagian akhir menceritakan tentang perencanaan Gubermen untuk membendung Minke yang cenderung reaksioner terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Siapa juga yang akan anteng-anteng menerima dengan kebijakan Belanda dulu yang jian uashu. Bahkan Minke yang sebagai alumni sekolah dokter yang meski tidak lulus pastilah langsung bertindak melalui korannya, Medan.
Sebenarnya kejahatan-kejahatan kolonial lebih banyak diceritakan di buku ke-tiganya PAT. Buku ke-empat ini lebih cenderung ke penurunan klimak dari sisi tokoh Minke: Mulai dari penangkapan Minke hingga kematiannya dalam sepi. Tapi dilihat dari sudut pandang Pangemanann pembaca akan cenderung diombang-ambingkan oleh tokoh ini.
Dalam buku ini dijelaskan, Rumah Kaca adalah istilah Pangemanann sebagai pegawai Algemene Secretarie dalam pengawasan terhadap orang-orang yang dianggap pergerakannya mengancam pemerintahan kolonial. Dia memetakan orang-orang tersebut. Jika dinilai terlalu jauh pergerakannya maka Gubermen beserta jajarannya akan menggunakan hak ekslusif negara. Salah satunya membuang mereka. Pangemanann lah yang bertugas membuat berbagai alasan yang kuat dan logis untuk mendasari penangkapan dan pembuangan tokoh pergerakan itu. Banyak dampak pembuangan ini: Minke, Wardi, Dowager, Tjipto. Bahkan seorang perempuan yang aktif bergerak melalui pena pun terkena dampaknya.
Perempuan ini bernama Siti Soendari atau biasa memiliki identitas rahasia S.S. Dampak pergerakannya melalui pena ini mengakibatkan tanggapan dari kolonial. Jian uashu otak kolonial memang cerdas. Bapak dari Soendari ini kan pegawai pemerintahan. Titik lemahnya di sini. Bapaknya diminta memilih. Menikahkan anaknya atau jabatannya turun. Mesti trik klasik namun endingnya cukup menarik. Kedua orang ini dibuat menghilang oleh PAT. Menghilang dari keadaan yang mengancam.
Ceritanya dikemas dengan sangat apik. Jika ingin membaca buku terakhir dari Tetralogi Buru ini penulis sarankan untuk membaca buku sebelumnya. Karena keterikatan alur cerita dengan buku sebelumnya bisa membuat pembaca bingung dan tidak paham jika langsung membaca buku terakhir ini. Tetralogi Buru ini bisa membangkitkan rasa  kemanusiaan seseorang.
Berapa lama menyelesaikan buku ini? Sebentar. Dicoba aja langsung baca. Kalau bosan bisa sambil makan jajanan sisa hari raya. Enak bukan? Hehe. Mohon maaf lahir batin semuanya! Oh iya, ini bukan resensi.
Tuban, 5 Juli 2017

Minggu, 04 Juni 2017

Survival Anak Rantau di Bulan Puasa

5 Orang; 3 dalam frame foto, 1 fotografer, dan 1 penunjuk arah paling depan

“Terkadang pulang kampung adalah hal yang malas saya rencanakan.”
Bulan Puasa, bulan yang penuh dengan teka-teki dan perencanaan yang matang demi mendapatkan sebuah pencapaian yang benar-benar nyata. Tidak muluk-muluk. Pencapaian tersebut adalah menemukan tempat buka puasa yang pas. Atau simpelnya “Gratis”.
Meski pernah gagal satu kali dalam pencarian tempat penyedia takjil. Bersama dua teman saya asli penghuni Rumah Lembab 23A (Beskem Solidaritas, Red) tetap bersemangat mencari tempat buka bersama gratis yang akhirnya berakhir di Masjid Ulul Albab UINSA. Kegagalan tersebut bermula ketika kawan saya bernama Toyiz, Kyai Rumah Lembap, mendapatkan info dari Ta’mir Masjid tempat ia sering singgah jikalau ada Tahlilan dan buka bersama pukul 4 Sore di salah satu rumah Dosen UINSA daerah Gang Masjid.
Tentu, seperti polisi di film India yaitu tidak tepat waktu saat ada tindakan kriminal, kami berangkat 30 menit lewat jam 4. Menuju Gang Masjid tidak membutuhkan waktu seperti mencari kunci motor yang klibet (lupa naruh, Red). Benar saja, 5 menitan kami sudah sampai depan rumah tujuan. Kami tidak terlambat. Hebat. Kami tidak terlambat karena tidak ada kegiatan apapun di sana. Tidak ada Soundsystem. Tidak ada banyak sandal di depan rumah. Bahkan tidak ada siapapun. Hanya ada karangan bunga ucapan duka.
                Gelak tawa menyertai kami berlima. Toyiz mengingat dengan keras. Dan akhirnya sidang memutuskan jika Toyiz lupa ataupun salah dengar. Karena ternyata Tahlilan terakhir bukan hari itu namun sudah hari kemarin sebelumnya. Memang, lapar membuat fatamorgana.
                Kami putuskan untuk lanjut menuju Masjid Ulul Albab. Selang beberapa menit Adzan Magrib sudah dikumandangkan. Kami berbuka dengan hikmat layaknya upacara bendera yang lupa terakhir kapan saya pernah lakukan.
                 Para pencari takjil. Itulah sebutan umumnya, kata kawan saya Mizan. Kawan saya yang satu ini sangat antusias dalam pencarian tempat-tempat penyedia takjil. Jika kalian para netizen pengguna Whatsapp menemukan pesan Broadcast yang berisi daftar tempat penyedia buka puasa Cuma-cuma dengan urutan nomor 1 Masjid Ulul Albab UINSA, ialah pencetus pesan-nya. Bahkan sekarang sudah diteruskan oleh pengguna yang lain. Hingga lebih dari 10 daftar tempat berbuka. Semoga amal teman saya yang satu ini diterima.
                Kegiatan mencari takjil tidak saya lakukan setiap hari. Puasa di awal-awal dulu, hingga hari ke-3, kami lebih memilih membeli lauk. Selain itu juga ada kegiatan Bukber organisasi sampai tiga kali. Terback-up lah semuanya. Haha.
                Namun tidak selamanya kita harus dan harus terus mengejar bola. Dengan doa yang tulus dan tak pernah putus untuk mendapatkannya. Uhuk. Akan terkabulkanlah pastinya. Seperti tadi. Penghuni Rumah Lembab keluar semua saat waktu buka. Ada yang buka bersama dengan organisasi tetangga. Ada yang buka bersama karena sudah mendapat kupon dari Masjid juga. Hingga ada juga yang pulang kampung. Namun saya putuskan untuk menetap di Beskem saja. Dan akhirnya. Jeng-jeng. Jodoh tidak kemana. Rejeki pun menghampiri. Tetangga Beskem ada acara. Dikirimlah Nasi Soto tiga porsi.
Karena hal-hal tersebut lah, membuat pulang kampung menjadi hal yang malas saya rencanakan. Ngerencanain aja malas. Apalagi ngelakuin. -_-
Surabaya, 4 Juni 2017

Maaf Spam, Tulisan yang Tercecer di Media Mainstream

Salam Olahraga.

Kalau boleh jujur akhir-akhir ini, semenjak merantau di Surabaya, saya sudah super sekali jarang melakukan olahraga. Berbeda dengan 6 tahun yang lalu, setiap malam masih sempat ikut olahraga di pelataran Sekolah Dasar, terkadang juga di halaman salah satu rumah masyarakat di desa Sendang. Olahraga ini mewujudkan cita-cita saya dulu ketika masih sering nonton film yang dibintangi om Jackie Chan. Meskipun belum pernah berlaga dikompetisi tapi cukuplah untuk menyehatkan badan. Hehe.

Lah. Hobi saya sekarang sudah tidak jelas ketika merantau. Salah satunya menulis. Dan menulispun sebenarnya belum bisa dikatakan hobi. Karena semangatnya masih prundal-prundul. Kadang muncul kadang enggak. Tapi tetap istiqomah saja deh pokoknya. Soalnya kata eyang Pramoedya Ananta Toer "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Maka dari itu saya mencoba abadi dalam tulisan. Saya juga ingat kutipan Sayyid Qutb yang lumayan sadis, "Jika dengan satu peluru kamu hanya bisa menembus satu kepala, maka dengan satu tulisan kamu bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala."

Terlepas dari itu, berbagi adalah salah satu koentji menjadi manusia yang humanis.

Berikut tulisan saya yang tercecer di media Mainstream:

Esai BlokTuban.com:

http://bloktuban.com/artikel-read.php/?show=9919-pers-mahasiswa-penolakan-dan-perjuangan-eksistensinya.html


http://bloktuban.com/artikel-read.php/?show=9919-pers-mahasiswa-penolakan-dan-perjuangan-eksistensinya.html


Resensi BlokTuban.com:
http://bloktuban.com/artikel-read.php/?show=5041-feodalisme-di-tanah-jawa-dalam-sastra.html


Citizen Jurnalism SuryaOnline dan BlokTuban:

http://surabaya.tribunnews.com/2016/02/14/imaro-tuban-menginspirasi-dengan-merogoh-kocek-pribadi

http://bloktuban.com/artikel-read.php/?show=6773-libur-akhir-pekan-imaro-uinsa-helat-latihan-kepemimpinan.html


Digimag Harian Surya:
http://bit.ly/digimagsurya




Rabu, 24 Mei 2017

Gang yang Tak Selebar Namanya

Banyak muda-mudi berjalan lalu-lalang di jalan ini. Tepat di belakang kampus UINSA ini juga bisa ditemukan tempat yang menyediakan apapun kebutuhan mahasiswa. Mulai dari konter pulsa, warung makanan, angkringan, kontrakan, hingga kosan. Mahasiswa yang berkantong ngepas plus anak rantau pasti akan tahu grid tempat-tempat tersebut sesuai dengan harga. Paling murah hingga paling mahal.
                Nama tempat ini adalah Gang Lebar. Tepatnya bukan sebuah tempat, namun sebuah gang yang tak cukup lebar seperti namanya dan menjadi titik temu dari gang-gang yang lain. Boleh jika disebutkan mulai dari ujung selatan ada Gg. 1, Gg. Masjid, Gg. Iain, Gg. Muayad, Gg. Dosen, Gg. Sunan Ampel, dan masih banyak lagi.
                Setiap mahasiswa UINSA pasti punya tempat favorit di gang lebar. Saya pun demikian. Kalau tempat makan ada di Warung Sederhana (WS) yang terletak di depan Gg. VIII dan depan Gg. Dosen. Konon katanya warung ini ada di tiga tempat di sekitar UIN. Selain warung tersebut, ada lagi yang lebih dekat dengan kocek. Warung tersebut diambil dari nama pemiliknya “Sri”. Berada di Gg. Modin dekat pondok An-Nur, tempat makan yang juga menyediakan air putih gratis ini biasa dikenal dengan “Warung Mak Sri”.
                Itulah sekelumit dunia perbadokan yang saya tahu di Gg. Lebar. Biasanya kalau tanggal tua saya lebih memilih masak nasi di Rumah Lembab 23A. Kemudian lauknya dengan biaya swadaya penghuni rumah. Terbukti lebih sesuai dengan kantong tanggal tua. Haha.
                Gg. Lebar ini belum saya ketahui pasti kapan diresmikan. Mungkin juga kan wali kota tempo dulu merakyat banget sehingga meluangkan waktu untuk meresmikan gang ini. Toh juga gang ini sebegitu kerennya sampai-sampai menghubungkan Sunan Ampel, IAIN, Modin, K. Zubair, hingga Dosen (Baca: Gang). Gg. Lebar ini ramai jika hari aktif kuliah karena sebagai akses utama mahasiswa keluar masuk kampus melalui jalur belakang UINSA yang hanya ada 1— Gg. Dosen.
                Namun sayangnya, Gg. Lebar yang tak selebar namanya ini perlu dikonsep ulang. Dari kerapian kios-kios serta tempat parkirnya. Kerindangan. Kebersihan. Serta Keteraturan lalu-lintas. Hal yang paling saya soroti di sini lalu-lintas kendaraan yang masih belum teratur. Banyak mobil-mobil pribadi, taksi, dan yang paling parah adalah truk melewati gang ini di jam-jam kerja. Macet akan mulai tampak setelah itu. Memang bisa dikatakan potong kompas ketika lewat Gg. Lebar. Mobil dari arah Rungkut dst. bisa langsung menuju Margorejo tanpa putar balik lewat Taman Pelangi.
                Namun hal itu sangat merugikan pengguna gang ini. Macet tersebut mengganggu aktivitas pengguna Gg. Lebar. Baik mahasiswa dengan aktivitasnya maupun warga setempat juga. Bahkan hingga sampai saling meluapkan kemarahan atas kemacetan tersebut dengan ujaran-ujaran khas Suroboyoan. Meski sudah biasa kemacetan menghiasi Surabaya. Namun kemacetan versi Gg. Lebar ini bisa diatasi dengan menetapkan aturan supaya hanya roda 2 yang bisa melewati Gg. Lebar ini di jam kerja. Karena Gg. Lebar sudah tak lagi selebar namanya.


Surabaya, 24 Mei 2017
Rumah Lembab 23A

Minggu, 09 April 2017

UINSA Harus Utamakan Esensi untuk Kejar Akreditasi

Sudah termaktub dalam Undang-undang tentang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012, kampus sebagai pelaksana pendidikan tinggi wajib menyelenggarakan Tridharma Peguruan Tinggi. Tiga kewajiban tersebut, yang juga harus sejak awal ditanamkan kepada para mahasiswa, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Hal itu secara berkelanjutan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai bentuk penjamin mutu perguruan tinggi dalam menjalankan tiga kewajiban tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mempuyai Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).  Menurut acuan Permenristekdikti No. 32 Tahun 2016, BAN-PT memberikan masa berlaku akreditasi selama 5 tahun dan akan diadakan penilaian kelayakan ulang. Untuk hal ini ada kampus yang begitu menginginkan supaya bisa mempertahankan akreditasi bagus yang telah diperoleh atau meningkatkan raihan akreditasi. Terkadang sampai melakukan beberapa hal yang cenderung berseberangan dengan nilai-nilai utama perguruan tinggi. 
Dari pengamatan penulis di kampusnya, program studi akan melakukan persiapan sebagus mungkin ketika tim assessor dari BAN-PT datang. Situs resmi UINSA www.uinsby.ac.id menyatakan sudah 75% prodi di UINSA yang terakreditasi A. Namun, menurut Wakil Rektor I bidang Akademik, Dr. Syamsul Huda, UINSA sudah memilik prodi terakreditasi A 60% dari seluruh prodi. Sayangnya obsesi terhadap akreditasi ini terlalu menggebu-gebu. Titik fokus utamanya adalah mencapai tingkatan akreditasi yang lebih tinggi. Mengingat kampus akan mendapat bantuan anggaran yang lebih tinggi jika akreditasi prodinya mayoritas A. Namun pada kenyataannya bukan kualitas atau esensi yang ada. Ada sesuatu yang terselip dan seperti disembunyikan. Kinerja dosen dalam proses pembelajaran pun masih kurang maksimal. Dosen yang kurang berkompetensi dengan mata kuliah yang diampu masih bertebaran. Frekuensi tinggi ketidakhadiran dosen juga meliputinya.
Sayangnya mereka yang berkepentingan masih belum berani jujur dan mulai berbenah. Penulis pernah melakukan wawancara kepada salah satu mahasiswa pemangku kebijakan yang tidak bisa dipandang remeh di organisasi himpunan mahasiswa prodi, dimana belakangan ini telah didatangi tim assesor dari BAN-PT. Narasumber tersebut mengaku jika mahasiswa telah mendapat intervensi dari pihak dekanat sebelum mereka bertemu tim assessor.
Tidak salah lagi, intervensi dimaksud berupa instruksi kepada mahasiswa supaya menjawab sesuai dengan keinginan dekanat. Bukan atas realita yang ada. Adakah ketakutan tersendiri dengan kenyataan yang ada? Selain itu, narasumber dari mahasiswa prodi lain di fakultas berlabel kuning, malah mengaku himpunan mahasiswa prodinya tidak diikutkan dalam proses akreditasi. Pihak pemimpin tertinggi di prodi tersebut pun mengaku tak mengikutkan organisasi hanya karena libur kuliah. Pihak tertinggi tersebut mengklaim hanya mengambil perwakilan mahasiswa umum.
Agaknya kampus sebagai tempat para manusia bebas untuk mengembangkan intelektualnya, harus mulai berbenah meski berisiko. Supaya akreditasi tidak menjadi pemahaman yang menyesatkan. Tampil di muka gemerlapan. Sivitas akademik yang di dalam dipertanyakan. Sebagaimana George W. F. Hegel memberi kesaksian dalam Phenomenology of Mind yaitu hanya dengan mengambil risiko hiduplah kebebasan dapat dicapai. Seorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya tak diragukan tetap dapat diakui sebagai pribadi. Namun tidak akan mencapai hakikat pengakuan tersebut yang mana sesuatu kesadaran diri yang mandiri.
Kesadaran diri ini tidak berarti semerta-merta menjadikan pihak pemangku kepentingan di kampus menyerah kepada realita yang ada. Namun dengan kebebasan ini kampus harus berani melakukan reformasi di dalam sistem yang ada. Membekukan kultur bersembunyi dari keadaan yang sekarang dan melakukan perubahan luar-dalam. UINSA akan menjadi kampus yang benar-benar diakui dari luar dan dalam. Selangkah lebih dekat dengan World Class University.
Selain itu, para stakeholder UINSA, harus lebih terbuka kepada mahasiswa. Interaksi dengan mahasiswa mesti diutamakan. Mahasiswa juga punya andil dalam akreditasi kampusnya. Mahasiswa organisatoris maupun bukan, mereka adalah warga UINSA yang ikut juga bertanggung jawab dengan kampusnya. Keinginan lekas mendapat hasil akreditasi bagus harusnya juga tidak menjadi titik utama, jika boleh penulis meminjam pendapat dari Tan Malaka dalam bukunya Materialisme Dialektika Logika (Madilog, Bab III Ilmu Pengetahuan-Sains) “Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu sendiri.”
Wallahul Muwafiq ila Aqwami Thoriq.
*) Mohammad Iqbal, Mahasiswa Aktif Semester 6 Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, sekaligus Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Surabaya 2016.


Artikel ini juga pernah dimuat di Koran Beranda Edisi Februari-Maret 2017
Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas  UIN Sunan Ampel Surabaya


Sabtu, 25 Februari 2017

Adik, Benda Misterius, dan Pesan Rahasia


“Kak, ceritakan Kak! Benda apa ini? Bagus Kak, ada hurufnya!”
Ketika sebuah benda tipis yang memiliki banyak alfabet, berderet di salah satu sisinya, ditemukan oleh adik kecilku di balkon rumah belakang. Sikap penasarannya seperti belati yang ditusuk-tusukan ke permukaan kulitku. Jika tidak dilawan, tentunya dengan jawaban, akan semakin sakit tak terhentikan. Aku menerka, dan tidak salah lagi. Benda ini disebut “kertas”. Terbuat dari serat kayu. Hancur jika terkena air. Aku mengetahuinya dari sekolah, tepat 3 minggu yang lalu. Meski aku memilih mematikan komputerku ketika penjelasan dari sekolah tentang benda ini belum selesai. Karena kelopak mataku berat sekali serta rasa-rasanya memaksaku tidur pagi itu.
Kertas, seperti manusia puluhan tahun yang lalu menyebutnya dan menggunakannya, berwarna putih dan bergaris ini mempunyai deretan huruf yang memuat pesan. Sekali lagi tepat, agar huruf-huruf ini bisa berada di atas kertas tentunya ada seorang yang melukiskannya. Oh, bukan, maksudku menuliskannya. Iya benar deretan huruf-huruf ini bernama “tulisan”. Suatu hasil pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk menkonversi pengalaman. Saat ini, kalau benar, hanya satu orang di kotaku yang masih bisa melakukan pekerjaan “menulis”. Bukan berarti kakek tua itu menolak dunia yang semakin maju. Hanya saja, pekerjaan “menulis” semakin mustahil dan sulit dilakukan, sehingga banyak orang membeli hasil tulisan dengan puluhan digit nominal angka dalam mata uang.
Aku coba jelaskan pesan dalam tulisan kepada adikku yang hari ini genap berusia 5 tahun. Aku coba bacakan. Kurang lebih seperti ini salinannya:
“Selamat membaca sebuah tulisan, Nak! Beginilah tulisan yang sebenarnya. Ketika kau membaca tulisan di atas kertas ini, kiranya aku sudah lama berada di dalam liang lahat. Yaitu tempat ketika tubuh manusia sudah tidak bisa menuruti keinginan-keinginan yang semakin menjadi-jadi. Begini Nak, aku coba mengira-ngira. Terlepas dari hal ini akan menjadi nyata atau hanya ilusi semata. Tulisan ini sebagai bukti, Nak. Bahwa saat ini para terpelajar yang bersekolah masih menuliskan apa yang ia dapatkan di sana. Tidak hanya itu, para pujangga pemilik karya sastra juga melakukan hal yang sama. Tulisan-tulisan tersebut dijadikan satu atau juga memang kertas-kertas itu bertumpuk menyatu yang disebut buku. Sudahlah, Nak. Kegiatan menulis sudah biasa dilakukan saat tulisan ini sedang aku selesaikan. Kemungkinan paling besar, ketika tulisan ini kau baca, sudah tidak ada orang yang menggoreskan penanya di kertas. Bahkan kertas akan menjadi hal yang paling langka setelah kejujuran. Apalagi penulisnya. Bukannya aku mendoakan, Nak! Bukan! Toh tidak akan menjadi hal buruk jika hanya memperkirakan.
Nak, bahkan, kemungkinan yang paling mungkin, sudah tidak ada sebuah karya yang dituliskan, manusia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Alam pun hanya replika yang dibuat manusia. Kau tanya di mana Tuhan? Tuhan adalah sejarah yang dikenang, Nak! Manusia membuat dan menghancurkan. Ada suara tanpa rupa dan sebaliknya. Para orang tua melepas bebas anak kecilnya. Anak-anak tidak mempercayai orang tuanya. Tidak ada seoarang pun yang tahu siapa pemerintah dalam suatu negara. Tiba-tiba sistem ada dan mengatur segalanya. Dan yang terakhir, Nak!”
Aku berhenti membaca. Diam sediam-diamnya. Adikku sibuk berlari-larian dengan perangkat game virtual menempel di kepala, sudah tidak menggubris sang kakak yang membaca.
Aku buang kertas itu, tak ingin aku teruskan. Aku coba lupakan apa pesan-pesannya. Aku lanjut beristirahat sebab 6 jam lagi kelas online-ku dimulai. Selain itu, besok adalah hari kami keluar setelah sekian tahun berlindung di dalam tempat sempit dan penuh batasan yang kami sebut rumah.
*) Penulis bernama Mohammad Iqbal, anggota organisasi yang sering memakai kaca mata hitam untuk berlindung dari silaunya masa depan.
Cerita ini juga pernah terbit di Web LPM Solidaritas UINSA
http://solidaritas-uinsa.org/adik-benda-misterius-dan-pesan-rahasia/

Diberdayakan oleh Blogger.