“Kak, ceritakan Kak! Benda apa ini? Bagus Kak, ada hurufnya!”
Ketika sebuah benda tipis yang memiliki banyak alfabet, berderet
di salah satu sisinya, ditemukan oleh adik kecilku di balkon rumah belakang.
Sikap penasarannya seperti belati yang ditusuk-tusukan ke permukaan kulitku.
Jika tidak dilawan, tentunya dengan jawaban, akan semakin sakit tak
terhentikan. Aku menerka, dan tidak salah lagi. Benda ini disebut “kertas”.
Terbuat dari serat kayu. Hancur jika terkena air. Aku mengetahuinya dari
sekolah, tepat 3 minggu yang lalu. Meski aku memilih mematikan komputerku ketika
penjelasan dari sekolah tentang benda ini belum selesai. Karena kelopak mataku
berat sekali serta rasa-rasanya memaksaku tidur pagi itu.
Kertas, seperti manusia puluhan tahun yang lalu menyebutnya dan
menggunakannya, berwarna putih dan bergaris ini mempunyai deretan huruf yang
memuat pesan. Sekali lagi tepat, agar huruf-huruf ini bisa berada di atas
kertas tentunya ada seorang yang melukiskannya. Oh, bukan, maksudku
menuliskannya. Iya benar deretan huruf-huruf ini bernama “tulisan”. Suatu hasil
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk menkonversi pengalaman. Saat ini,
kalau benar, hanya satu orang di kotaku yang masih bisa melakukan pekerjaan
“menulis”. Bukan berarti kakek tua itu menolak dunia yang semakin maju. Hanya
saja, pekerjaan “menulis” semakin mustahil dan sulit dilakukan, sehingga banyak
orang membeli hasil tulisan dengan puluhan digit nominal angka dalam mata uang.
Aku coba jelaskan pesan dalam tulisan kepada adikku yang hari ini
genap berusia 5 tahun. Aku coba bacakan. Kurang lebih seperti ini salinannya:
“Selamat membaca sebuah tulisan, Nak! Beginilah tulisan yang
sebenarnya. Ketika kau membaca tulisan di atas kertas ini, kiranya aku sudah
lama berada di dalam liang lahat. Yaitu tempat ketika tubuh manusia sudah tidak
bisa menuruti keinginan-keinginan yang semakin menjadi-jadi. Begini Nak, aku
coba mengira-ngira. Terlepas dari hal ini akan menjadi nyata atau hanya ilusi
semata. Tulisan ini sebagai bukti, Nak. Bahwa saat ini para terpelajar yang
bersekolah masih menuliskan apa yang ia dapatkan di sana. Tidak hanya itu, para
pujangga pemilik karya sastra juga melakukan hal yang sama. Tulisan-tulisan
tersebut dijadikan satu atau juga memang kertas-kertas itu bertumpuk menyatu
yang disebut buku. Sudahlah, Nak. Kegiatan menulis sudah biasa dilakukan saat
tulisan ini sedang aku selesaikan. Kemungkinan paling besar, ketika tulisan ini
kau baca, sudah tidak ada orang yang menggoreskan penanya di kertas. Bahkan
kertas akan menjadi hal yang paling langka setelah kejujuran. Apalagi
penulisnya. Bukannya aku mendoakan, Nak! Bukan! Toh tidak akan menjadi hal
buruk jika hanya memperkirakan.
Nak, bahkan, kemungkinan yang paling mungkin, sudah tidak ada
sebuah karya yang dituliskan, manusia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Alam
pun hanya replika yang dibuat manusia. Kau tanya di mana Tuhan? Tuhan adalah
sejarah yang dikenang, Nak! Manusia membuat dan menghancurkan. Ada suara tanpa
rupa dan sebaliknya. Para orang tua melepas bebas anak kecilnya. Anak-anak
tidak mempercayai orang tuanya. Tidak ada seoarang pun yang tahu siapa
pemerintah dalam suatu negara. Tiba-tiba sistem ada dan mengatur segalanya. Dan
yang terakhir, Nak!”
Aku berhenti membaca. Diam sediam-diamnya. Adikku sibuk
berlari-larian dengan perangkat game virtual menempel di
kepala, sudah tidak menggubris sang kakak yang membaca.
Aku buang kertas itu, tak ingin aku teruskan. Aku coba lupakan apa
pesan-pesannya. Aku lanjut beristirahat sebab 6 jam lagi kelas online-ku
dimulai. Selain itu, besok adalah hari kami keluar setelah sekian tahun
berlindung di dalam tempat sempit dan penuh batasan yang kami sebut rumah.
*) Penulis bernama Mohammad Iqbal, anggota
organisasi yang sering memakai kaca mata hitam untuk berlindung dari silaunya
masa depan.
Cerita ini juga pernah terbit di Web LPM Solidaritas UINSA
http://solidaritas-uinsa.org/adik-benda-misterius-dan-pesan-rahasia/
http://solidaritas-uinsa.org/adik-benda-misterius-dan-pesan-rahasia/